Selamat Datang

WELCOME TO MY BLOG.......

Kamis, 16 Desember 2010

ADAT ISTIADAT SUKU ASMAT

MAKALAH PENGANTAR ANTROPOLOGI HUKUM
ADAT ISTIADAT SUKU ASMAT





Oleh:
Siti Nafiah (07120015)



JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2008


LATAR BELAKANG
Asmat! Yang muncul di benak kita adalah suku primitif dan terbelakang serta sudah tidak asing lagi di telinga kita, terutama di kalangan pelajar dari SD sampai Perguruan Tinggi. Dalam ilmu pengetahuan sosial suku tersebut sering dikenal sebagai suku yang berada di sebelah timur Indonesia, yaitu tanah Papua. Namun, gambaran seperti itu lenyap, bila melihat orang Asmat membangun kebudayaan melalui seni dan adat istiadat mereka. Orang Asmat lebih maju dibanding suku-suku lain di tanah Papua. Mereka sering menjadi duta bagi Indonesia di mancanegara yang menunjukan kebolehannya. Olaeh karena itu penulis tertarik untuk membahas dan mengulas semua hal mengenai suku tersebut .
PEMBAHASAN
Sejarah Asmat : Legenda Fumeripits
Sekalipun orang Asmat mengakui yang muncul pertama kali ke muka bumi adalah perempuan (dalam bentuk pepohonan), tapi sejarah Asmat tidak berasal dari situ. Sejarah Asmat dibangun berdasarkan legenda Fumeripits. Fumeripits diyakini sebagai leluhur Asmat yang dihidupkan kembali oleh burung bertuah saat ia terdampar di kawasan Asmat. Ia membangun rumah yang memanjang, yang selanjutnya disebut rumah bujang (jew) dan membuat puluhan patung manusia dari kayu. Suatu ketika ia juga membuat tifa, dan saat ia menabuhnya, puluhan patung yang dibuatnya berubah wujud menjadi manusia. Patung-patung yang telah berubah wujud itulah diyakini sebagai cikal bakal orang Asmat..
Oleh karena patung itu dari kayu, maka manusia-manusia itupun dinamakan Asmat. Jadi selain makna kayu dikarenakan pandangan terhadap dua roh mama tua yang diceritakan di atas, legenda Fumeripits ini juga mendukung pemaknaan nama Asmat itu sendiri sebagai kayu. Selain itu, legenda ini juga menghasilkan makna lain dari Asmat, yaitu Asmat-ow, yang berarti kami adalah orang yang sesungguhnya (we the real people). Bermakna demikian karena mereka telah hidup menjadi manusia, berbeda dengan roh orang mati atau orang lain di sekitarnya. Tobias Schneebaum menyebutnya sebagai contradistinction.
Dengan meyakini asal usul mereka adalah dari kayu, dan keyakinan mereka pula bahwa makhluk yang pertama kali muncul adalah pepohonan, maka tidak heran jika Asmat mengidentikkan diri mereka sebagai pohon. Bagi mereka, kaki itu sama dengan akar, tubuh mereka adalah batang, lengan mereka sama dengan cabang/ranting, dan kepala mereka adalah buah dari pohon tersebut.
Sampai di sini jelas meskipun yang diyakini muncul pertama kali ke permukaan bumi adalah roh perempuan, namun yang dianggap sebagai manusia pertama di Asmat adalah laki-laki. Penjelasan ini lebih lanjut akan berimplikasi pada pesta-pesta yang dilakukan masyarakat Asmat dan ukiran-ukiran ciptaan mereka. Dalam pesta-pesta itu pemujaan dilakukan bukan hanya terhadap roh nenek moyang perempuan tetapi justru malah lebih ditekankan kepada laki-laki. Demikian pula dalam ukiran, nenek moyang orang Asmat lebih sering digenderkan sebagai laki-laki.
Hal ini menarik untuk dibahas dengan menggunakan kacamata ekofeminisme spiritual. Bila kita melihat keyakinan Asmat bahwa makhluk yang pertama kali muncul adalah roh perempuan, maka sesungguhnya masih ada celah untuk menggali spiritualitas perempuan untuk dapat mengeluarkan perempuan Asmat dari kontrol patriarki. Namun demikian tepat atau tidaknya pemberdayaan dengan cara tersebut masih membutuhkan pemahaman lebih jauh mengenai nilai-nilai dalam masyarakat Asmat itu sendiri.
Lokasi dan Penduduk
Masyarakat Asmat mendiami bagian timur daerah pesisir selatan Irian Jaya, suatu dataran rendah yang dialiri oleh banyak sungai dan terendam rawa-rawa yang tidak berbatu. Sebuah desa Asmat biasanya dimukimi 100 hingga 2.000 penduduk. Masyarakat Asmat, yang berjumlah sekitar 40.000 jiwa, mengelompokkan diri atas dasar bahasa dan dialek, juga adat-istiadat. Ada kalanya satu bahasa berlaku hanya di dua atau tiga desa saja. Dalam pengelompokan bahasa, masyarakat Asmat terbagi menjadi tiga kelompok adat: Asmat pesisir baratdaya, Asmat Teluk Kasuari dan Asmat hulu sungai. Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo dan Jayawijaya di antara berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, Suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya. Secara umum, kondisi fisik anggota masyarakat Suku Asmat, berperawakan tegap, hidung mancung dengan warna kulit dan rambut hitam serta kelopak matanya bulat. Disamping itu, Suku Asmat termasuk ke dalam suku Polonesia, yang juga terdapat di New Zealand, Papua Nugini..
Mata Pencaharian
Masyarakat Asmat di pesisir memenuhi kebutuhan hidup dengan berburu dan meramu. Mereka samasekali tidak berkebun atau memelihara ternak. Mereka yang hidup di kaki gunung memelihara ternak, tetapi dalam jumlah kecil. Mereka juga menanam ubi, tebu, pisang, dan tembakau seperti suku-suku Asmat pegunungan. Sagu tidak tumbuh liar dalam jumlah besar sehingga harus dicari sampai ke hilir atau ditanam sendiri
Kehidupan Sosial
Di pesisir, desa-desa dibangun sepanjang sungai. Rumah-panjang kaum lelaki (yeu) yang berukuran 50 sampai 90 meter dan rumah-rumah keluarga berdiri dengan kaki dua meter. Kelompok-kelompok kecil suka hidup di pedalaman, bukan di tepi sungai melainkan di tengah hutan. Mereka hidup di rumah-rumah panggung setinggi 10 meter lebih atau di rumah-rumah pohon. Masyarakat Asmat, yang berjumlah sekitar 40.000 jiwa, mengelompokkan diri atas dasar bahasa dan dialek, juga adat-istiadat. Ada kalanya satu bahasa berlaku hanya di dua atau tiga desa saja. Dalam pengelompokan bahasa, masyarakat Asmat terbagi menjadi tiga kelompok adat: Asmat pesisir baratdaya, Asmat Teluk Kasuari dan Asmat hulu sungai.
Untuk makanan, mereka mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok, termasuk hasil tangkapan air seperti ikan, udang, kepiting yang berlimpah ruah di perairan wilayah Asmat. Mereka juga menggemari makanan tambahan seperti ulat sagu atau sejenis ulat kayu yang sudah lapuk. Meski demikian, seiring perkembangan waktu, mereka juga mengonsumsi nasi karena pangaruh para pendatang di daerah itu.

Msyarakat Asmat terkenal memiliki religiusitas yang tinggi terutama dengan keseimbangan kehidupan yang dikaitkan dengan mitos dan pertolongan roh nenek moyang. Orang Asmat mengenal tiga dunia. Capmbinak atau asmat-ow adalah dunia makhluk hidup yaitu di dunia ini. Kemudian ada Capininiatau damer-owyaitu alam gaib dan roh-roh yang merupakan sumber ketakutan. Orang Asmat percaya bahwa nenek moyang mereka berada di sebuah tempat yang disebut Safan atau Ji-owatau dalam konsep orang beragama monoteis disebut surga.
Harmoni dan kedamaian bagi orang Asmat bersumber dan terjaga hanya dengan menjaga keseimbangan di antara tiga dunia itu. Untuk menjaga kesimbangan antara ketiganya harus dipenuhi dengan kewajiban ritual tertentu yang dilakukan secara periodik. Mengukir adalah salah satu bagian dari ritual yang merupakan bagian dari pemujaan nenek moyang yang dikaitkan dengan keseimbangan ini.
Orang Asmat hidup di dua area, yaitu di sepanjang tepi pantai atau sungai dan di pedalaman. Antara dua kelompok masyarakat ini juga memiliki perbedaan dialek bahasa, cara hidup, struktur sosial dan pesta ritual. Mereka semua tersebar di desa-desa di wilayah sekitar 27.000 kilometer persegi dengan kondisi tanah berawan dan digenangi air pada musim penghujan. Sebelum para misionaris dan ekspedisi asing datang ke wilayah ini sekitar tahun 1950-1960-an, mereka adalah suku yang belum terjamah oleh peradaban modern.
Rumah tradisional Asmat adalah jeu dengan panjang sampai 25 meter. Sampai sekarang masih bisa dijumpai rumah tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat pedalaman. Bahkan masih ada juga di antara mereka yang membangun rumah tinggal di atas pohon.

Sistem Kekerabatan
Suku terpencil ini masih tetap menjaga nilai-nilai adat istiadat dan memegang kekerabatan yang sangat tinggi. Seperti ketika mereka hendak membangun rumah adat yang mereka sebut Jew atau rumah para bujang. Membangun rumah jew harus memenuhi beberapa persyaratan. Dan seluruh bahan dan peralatan harus sudah siap, agar pembangunannya tidak memakan banyak waktu. Jew selalu didirikan menghadap sungai, dan panjangnya bisa mencapai puluhan meter. Tiang penyangga utamanya adalah kayu besi yang dihubungkan menggunakan tali rotan. Sedangkan dinding dan atapnya terbuat dari anyaman daun sagu. Suku Asmat sama sekali tidak menggunakan paku, melainkan bahan - bahan dari hutan. Ini menunjukan, Asmat masih mempertahankan nilai-nilai leluhur. Menarik melihat bagaimana mereka membangun Jew. Menariknya, kendati tidak berada di tanah Ulayat, mereka tetap harus membangun Jew sebagai pusat kehidupan warga. Semua mereka bawa dari kampung halaman, termasuk tiang penyangga dan peralatan. Sulit membayangkan repotnya mereka membawanya dari kampung halamannya di Papua.
Kesenian dan Kebudayaan
a). Ukiran
Suku Asmat adalah salah satu suku di Papua Barat yang memiliki kebudayaan mengukir dan memahat sejak dari masa nenek moyangnya. Berawal dari latar belakang cerita legenda Fumeripits yaitu seorang yang pandai mengukir dan memahat yang kemudian merupakan pencipta cikal bakal manusia suku Asmat. Oleh latar belakang legenda tersebut, suku Asmat mempunyai kebudayaan mengukir yang konon diturunkan oleh Fumeripits. Ukiran Asmat sudah cukup dikenal didunia. Mulai dari perisai, patung Mbis, gendang, perahu lesung dan lain-lain. Dapat dikatakan juga bahwa ukiran Asmat lahir dari upacara adat.
Orang Asmat percaya bahwa arwah leluhurnya hidup bersama diantara mereka. Arwah-arwah tersebut mempengaruhi segala kehidupan mereka dengan demikian kuatnya. Sehingga mereka percaya bila ada malapetaka atau bencana, penyebabnya adalah arwah nenek moyang atau leluhur yang merasa tidak dihormati. Untuk menghormati arwah leluhur Asmat, maka dibuatlah upacara-upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur mereka. Upacara ini disertai dengan pembuatan patung-patung yang merupakan gambaran para leluhur Asmat. Dari sinilah lambat laun kepercayaan ini menjadi tradisi suku Asmat dalam mengukir dan memahat patung kayu.
Image yang terdapat pada ukiran suku Asmat merupakan unsur alam yang biasa dan ada di sekitar lingkungan suku Asmat. Salah satu contohnya adalah simbol yang terdapat pada ukiran suku Asmat yang merupakan representasi dari lingkungannya. Kebanyakan ragam hias suku Asmat merupakan penyederhanaan dari bentuk binatang yang terdapat di alam Asmat (reptil,burung kakatua dan lain-lain), figur manusia nenek moyang suku Asmat, tumbuhan atau floral (pohon sagu dan lain-lain) serta kejadian alam (petir, air dan lain-lain). Segala hal yang menyangkut kehidupan suku Asmat selalu dikaitkan dengan alam dunia (Khususnya tanah Asmat) dan alam arwah.
b). Rumah Jew dan Perahu Chi
Membangun rumah jew harus memenuhi beberapa persyaratan. Dan seluruh bahan dan peralatan harus sudah siap, agar pembangunannya tidak memakan banyak waktu. Jew selalu didirikan menghadap sungai, dan panjangnya bisa mencapai puluhan meter.
Tiang penyangga utamanya adalah kayu besi yang dihubungkan menggunakan tali rotan. Sedangkan dinding dan atapnya terbuat dari anyaman daun sagu. Suku Asmat sama sekali tidak menggunakan paku, melainkan bahan - bahan dari hutan. Ini menunjukan, Asmat masih mempertahankan nilai - nilai leluhur.
Jumlah pintu sama dengan jumlah patung bis dan tungku api. Jumlah ini cermin dari rumpun suku yang tinggal di sekitar Jew. Sedangkan patung bis adalah gambaran leluhur masing - masing rumpun suku, sehingga setiap mereka beri nama. Mereka percaya patung - patung ini akan menjaga rumah mereka dari pengaruh jahat.

Bagi suku Asmat, mendirikan Jew dan pemanggilan ruh leluhur, tidak lepas dari pertumpahan darah. Setelah rumah Jew berdiri, para lelaki biasanya pergi berburu menggunakan perahu Chi untuk memenggal kepala musuh. Suku Asmat memiliki keunikan dalam mendayung perahu Chi yang bentuknya menyerupai lesung.
Terbuat dari pohon ketapang rawa, panjang sebuah chi bisa mencapai dua belas meter. Untuk membuatnya diperlukan waktu satu sampai dua minggu. Dayungnya terbuat dari kayu pala hutan dan bentuknya menyerupai tombak panjang. Sebagian perahu Chi diberi ukiran ular di tepinya serta ukiran khas Asmat di bagian kepalanya. Ular merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam.
Perahu menjadi alat yang penting bagi mereka untuk mencari ikan sepanjang hari. Mengambil sagu, berburu buaya, berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka bisa melintasi sungai hingga puluhan kilometer. Kedekatan suku Asmat dengan perahu kini menjadi atraksi menarik. Atraksi ini menggambarkan bagaimana suku Asmat berperang. Namun semenjak misionaris datang sekitar tahun lima puluhan, perang antar suku sudah tidak ada.
Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka menari dan bernyanyi diiringi pukulan Tifa. Saat - saat seperti ini, ruh leluhur akan datang dan mulai menjaga rumah mereka. Rumah Jew memang memiliki posisi yang istimewa dalam struktur suku Asmat. Dirumah bujang ini, dibicarakan segala urusan yang menyangkut kehidupan warga, mulai dari perencanaan perang, hingga keputusan menyangkut desa mereka.
Jew adalah salah satu bagian dari nilai - nilai suku asmat yang melihat rumah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Suku Asmat selain itu pandai membuat ukiran dan memahat yang sarat simbol leluhur mereka.
c). Pesta patung bisj
Pesta patung bisj hanya merupakan salah satu dari tiga pesta besar suku Asmat yang dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan. Pesta patung bisj dilakukan 4 tahun sekali setelah tetua adat yang adalah laki-laki bermusyawarah untuk menentukan hari baik. Pesta ini dimulai dengan keberangkatan laki-laki ke tengah hutan untuk menebang pohon yang akarnya mencuat keluar. Akar yang mencuat keluar ini merupakan simbol kepala lawan, yang sebelum pengayauan ditiadakan, mereka benar-benar harus memenggal kepala lawan. Pohon-pohon ini akan diukir oleh para pemuda (yang belum menikah) yang ditugaskan sebagai pengukir. Setelah batang kayu ditebang hingga sore hari, batang-batang itu diangkut ke kampung.
Sementara itu perempuan harus memangkur, meramah, dan mengolah sagu dalam jumlah besar untuk dijadikan hidangan pesta dan konsumsi para pengukir. Saat sore hari, sebelum kembalinya para suami dari menebang pohon, perempuan sudah bersiap di tepi sungai. Mereka menyambut kedatangan suami mereka di tepi sungai dengan mengenggam senjata tajam seperti pisau, parang, tulang kasuari, panah, dan tombak. Mereka sudah menunggu hari ini untuk membalas kekerasan yang telah dilakukan laki-laki selama ini dalam rumah tangga mereka.
Pihak laki-laki terlebih dahulu melontarkan caci maki untuk memancing kemarahan. Setelah itu perempuan akan mulai menyerang tanpa laki-laki boleh memberikan perlawanan. Saat itu perempuan boleh melakukan semua tindak kekerasan yang telah dilakukan pihak suami namun tidak boleh melebihi tindak kekerasan yang telah dilakukan suami. Misalkan jika laki-laki tidak pernah membacok mereka dengan parang maka dalam kesempatan ini perempuan pun tidak boleh melakukannya. Ketika hari telah gelap, maka pembalasan para istri ini dihentikan. Luka-luka suami dibalut, lalu dilanjutkan dengan pesta di rumah bujang. Pesta ini berlangsung selama kurang lebih tiga bulan.
Jadi tiap hari selama tiga bulan itu mulai petang hingga malam tiba, masyarakat Asmat mengupayakan keseimbangan. Keseimbangan itu tercapai ketika para istri menyiapkan makanan, para suami menebang pohon yang akarnya mencuat, dan para pengukir mengukir di rumah bujang tanpa boleh dilihat oleh siapapun kecuali tetua adat. Keseimbangan itu juga dicapai saat perempuan membalas kekerasan suaminya selama ini terhadap mereka. Selain itu, keseimbangan juga dicapai pada puncak pesta di malam sebelum pesta patung bisj berakhir.
Puncak pesta itu sering disebut sebagai pesta setan, yang dilakukan setelah patung-patung selesai diukir dan siap ditanam di muka rumah bujang keesokan harinya. Setan itu merupakan perwujudan dari roh nenek moyang yang turun dan ikut menari di rumah bujang semalam suntuk. Roh itu sebenarnya adalah tetua adat yang mengenakan pakaian setan. Dalam pesta setan itu, biasanya tetua adat akan menari terus mengikuti irama tabuhan tifa hingga mengalami kesurupan (trance).
Dalam bukunya, Dewi Linggasari menyatakan pesta setan sebagai penutup dari pesta patung bisj itu merupakan simbol dari hubungan afeksi antara orang-orang yang sudah tiada dengan mereka yang masih hidup. Kehadiran roh dalam pakaian setan itu adalah perlambang bahwa sesungguhpun mereka telah tiada, akan tetapi hubungan cinta kasih tetap ada, sehingga mereka perlu menyatu dalam kristal kehidupan suku Asmat untuk memberi kekuatan. Itulah wujud salah satu keseimbangan lainnya dalam pesta patung bisj.
d). Pesta Ulat Sagu
Pesta lainnya yang merupakan upaya mencapai keseimbangan adalah pesta ulat sagu. Pesta ini dilakukan setelah kaum laki-laki selesai membangun atau memperbaiki rumah bujang yang telah rusak Sebelumnya terlebih dahulu ditentukan hari baik kapan pesta dilakukan. Pesta ini juga dikenal sebagai hari perempuan karena pada hari itu perempuan dibebastugaskan dari kegiatan memangkur, meramah, dan mengolah sagu. Hari itu kaum laki-lakilah yang harus menggantikan tugas istri sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan.
Kegiatan memangkur, meramah, dan mengolah sagu serta ulat sagu telah menjadi rutinitas perempuan, yang seolah dianggap lumrah bila dilakukan perempuan. Namun ketika laki-laki yang melakukannya, maka kegiatan ini diiringi dengan upacara ‘pelepasan’ laki-laki ke hutan. Dalam pesta ini laki-laki juga mengenakan pakaian adat terbaik, dilengkapi dengan hiasan-hiasan kepala, dan polesan wajah dengan pewarna merah, putih, dan hitam. Hal ini dikarenakan laki-laki adalah pemeran utama di dalam setiap pesta. Bahkan meskipun pesta itu ditujukan untuk menghormati perempuan.
Setelah laki-laki selesai mengolah sagu dan ulat sagu maka tiba saatnya ulat sagu itu dikalungkan ke leher istri dan saudara ipar perempuan. Prosesi pengalungan itu dilakukan di rumah bujang. Setelah itu kaum lelaki dari marga Jiwiwoy akan menuangkan ulat sagu ke dalam sebuah kerucut pelepah sagu. Hanya laki-laki dari marga Jiwiwoy yang boleh melakukan penuangan itu. Hal ini menunjukkan adanya kelas di dalam kelas (laki-laki). Terakhir adalah proses testimoni orang-orang yang pernah melakukan pengayauan. Atas setiap kepala yang diayau maka sebuah tali pengikat kerucut pelepah sagu akan dipotong. Maka satu demi satu ulat sagu berjatuhan dan dipungut. Maka pesta menyantap sagu pun dimulai. Setelah itu kaum laki-laki melanjutkannya dengan berpesta di hutan.
Setelah melepas laki-laki untuk berpesta di hutan, perempuan dan anak-anak biasanya pulang ke rumah. Satu keseimbangan lagi telah dicapai. Perempuan telah dibalas kebaikannya oleh laki-laki pada pesta itu. Kepala-kepala yang diayau juga diizinkan rohnya menuju safar, yang ditandai dengan pemotongan kerucut pelepah sagu.

Agama
Suku Asmat menganut animisme yaitu kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami sekalian benda (pohon, batu dan sebagainya). Walaupun pada saat ini agama kristen telah masuk ke papua dan animisme sudah banyak ditinggalkan pengikut-pengikutnya, kegiatan yang berhubungan dengan animisme masih dilakukan. Hal ini terlihat pada kehidupan suku Asmat yang masih melakukan pembuatan patung-patung leluhur mereka dalam kehidupan adat istiadatnya guna menghormati nenek moyangnya.

Kelahiran
Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan baik agar dapat lahir dengan selamat dengan bantuan ibu kandung alau ibu mertua. Kelahiran, tak lama setelah si jabang bayi lahir dilaksanakan upacara selamatan secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan Sembilu, alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai berusia 2 tahun atau 3 tahun.

Perkawinan
Pernikahan, proses ini berlaku bagi seorang baik pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun dan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan mas kawinnya piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu Johnson, bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap. Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.

Kematian
Kematian, bila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, tetapi bila masyarakat umum, jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga yang ditinggalkan.
Kematian bayi dianggap wajar, meskipun menandakan kurangnya dua energi kehidupan, yaitu yuwus dan ndamup. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Asmat tidak merasa bermasalah dengan bayi yang meninggal dunia. Mereka tidak berupaya mencari tahu penyebab kematian bayi tersebut karena menganggap sudah mengetahuinya. Masyarakat Asmat meyakini 50-60% anak berusia di bawah lima tahun akan meninggal karena merasa diabaikan atau tidak diperlakukan dengan baik oleh keluarganya. Dalam hal ini yang dimaksud keluarga adalah ibu, karena ibu yang bertugas mengasuh anak. Jadi kematian bayi, di satu sisi dianggap normal, namun di sisi lain membangkitkan rasa bersalah dalam diri ibu.
Sedangkan kematian karena pembunuhan khususnya yang dilakukan oleh pihak lawan/suku lain, harus diseimbangkan dengan memenggal kepala pihak lawan pada saat yang telah ditentukan oleh kepala perang. Pemenggalan kepala ini dikenal sebagai praktik pengayauan dan kanibalisme dalam sistem kepercayaan Asmat. Pengayauan dilakukan karena roh orang Asmat yang dibunuh tidak dapat menuju safar. Mereka akan masuk ke dalam dampu ow capirnmi, yaitu persinggahan roh orang mati sebelum sampai ke safar.

Sistem Ketatanegaraan
Dalam kehidupannya, Suku Asmat memiliki 2 jabatan kepemimpinan, yaitu a. Kepemimpinan yang berasal dari unsur pemerintah dan b. Kepala adat/kepala suku yang berasal dari masyarakat.
Sebagaimana lainnya, kapala adat/kepala suku dari Suku Asmat sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di lingkungan ini. Karena segala kegiatan di sini selalu didahului oleh acara adat yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan sangat diperlukan untuk memperlancar proses tersebut.
Bila kepala suku telah mendekati ajalnya, maka jabatan kepala suku tidak diwariskan ke generasi berikutnya, tetapi dipilih dari orang yang berasal dari fain, atau marga tertua di lingkungan tersebut atau dipilih dari seorang pahlawan yang berhasil dalam peperangan.
Kepala suku adalah sosok panutan utama. Kedudukan terhomat itu biasanya diperoleh dari kepribadian, kecerdasan serta perilaku yang ditunjukkan di segala segi kehidupan
ANALISA/ KESIMPULAN
Seperti yang telah penulis ketahui dari buku " Antropolo Hukum Indonesia" (Hilman, 1986: 54) bahwa terdapat tiga tipe budaya hukum;Parokial, Subjek dan Partisipan, Dari uraian adat istiadat suku asmat diatas penulis menyimpulkan bahwa suku asmat diatas mempunyai tipe budaya hukum parokial (picik), ini terlihat dari kepercayaaan mereka yang masih kuat terhadap arwah leluhurnya, kaidah-kaidah hukum yang telah digariskan dari zaman leluhur merupakan azimat yang pantang diubah.Orang Asmat percaya bahwa arwah leluhurnya hidup bersama diantara mereka. Arwah-arwah tersebut mempengaruhi segala kehidupan mereka dengan demikian kuatnya. Sehingga mereka percaya bila ada malapetaka atau bencana, penyebabnya adalah arwah nenek moyang atau leluhur yang merasa tidak dihormati. Untuk menghormati arwah leluhur Asmat, maka dibuatlah upacara-upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur mereka. Upacara ini disertai dengan pembuatan patung-patung yang merupakan gambaran para leluhur Asmat. Dari sinilah lambat laun kepercayaan ini menjadi tradisi suku Asmat dalam mengukir dan memahat patung kayu.
Dalam masyarakat bertipe hukum parokial belum banyak diadakan pembagian kerja sehingga pemimpinnya bertindak serba guna, ia sebagai kepala suku, kepala adat ataupun juga kepala agama, tetapi dalam masyarakat asmat sudah terdapat 2 jabatan kepemimpinan, yaitu a. Kepemimpinan yang berasal dari unsur pemerintah dan b. Kepala adat/kepala suku yang berasal dari masyarakat. Sebagaimana lainnya, kapala adat/kepala suku dari Suku Asmat sangat berpengaruh dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di lingkungan ini. Karena segala kegiatan di sini selalu didahului oleh acara adat yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan sangat diperlukan untuk memperlancar proses tersebut.
Dalam hal sifat-sifat kepemimpinan suku asmat menggunakan pendekatan sifat yakni seorang pemimpin harus mempunyai kepribadian yang baik, kecerdasan dan segala perilaku baik yang ditunjukkan dalam semua segi kehidupan. Syarat-syarat pemimpin ini diuraikan Hollander dan Yulian (1968: 893) dan pendekatan sifat tersebut adalah salah satu cara-cara pendekatan yang dibentangkan Pospisil dari para penulis terdahulu sebelum Pospisil sampai pada pengertiannya sendiri tentang sifat-sifat kepemimpinan.
Dalam ilmu Antropologi terdapat beberapa sistem perkawinan, macam-macam sistem perkawinan dapat dilihat dari asal usul suami istri, kedudukan sebagai pemberi dan penerima gadis dan pola menetap setelah perkawinan. Suku asmat menggunakan sistem perkawinan endogami yakni perkawinan dari suku dan ras yang sama dan sistem perkawinana patrilokal (virilokal) yaitu tinggal di sekitar pusat kediaman suami setelah mengadakan perkawinan.

Daftar Pustaka
Hadikusuma S,H, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia, 1986 PT alumni Bandung
Hadikusuma S,H, Hilman. Pengantar Antropologi Hukum, 2004 PT Citra Aditya Bakti, Bandar lampung
Sumber: http://www.katcenter.info)
E:\\suku-asmat-pelestari-adat-sejati.htm
E:\mety\detail.aspx.htm
Tobias Schneebaum, “Embodied Spirits : Ritual Carvings of the Asmat, 1990 p. 12., Peabody Museum of Salem. The World of Asmat, Singapore Zoological Gardens, 2003, http://www.szgdocent.org/ff/f-asmat.htm
Dewi Linggasari, 2002, Realitas Di Balik Indahnya Ukiran. Potret Keseharian Suku Asmat di Kecamatan Agats. Yogyakarta : Penerbit Kunci Ilmu, bekerja sama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Hal. 81.

Adat Asmat. Pesta Ulat Sagu”, dalam Kompas, Senin 4 Desember 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar