Selamat Datang

WELCOME TO MY BLOG.......

Selasa, 14 Desember 2010

POLITIK HUKUM DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

MAKALAH
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

POLITIK HUKUM DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK




Disusun Oleh:
Siti Nafi’ah (07400278)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Anak adalah sebuah anugerah sekaligus amanat yang dititipkan Tuhan kepada orangtua (wali)nya. Tiap anak adalah anugerah karena tidak setiap orang dapat “memilikinya”. Setiap anak adalah amanat karena ia dilahirkan ke dunia dan Tuhan memilihkan “pendamping” yang merawat dan membesarkannya sebagai calon pengisi, dan pelanjut penentu generasi. Kesadaran universal ini dari waktu ke waktu menyentuh relung kemanusiaan dengan segala cerita lengkap yang dihiasi antara duka dan bahagia.
Demikianlah setiap periode waktu manusia selalu berupaya untuk memperbaiki dan menyempurnakan cara bagi pengisi generasi. Dibuatlah berbagai peraturan yang mendukung dan menopangnya. Dilandasai dengan kesadaran tersebut di atas, sebagai sebuah produk zaman dan tempat bangsa inipun telah melahirkan peraturan sebagai wujud perhatiannya terhadap entitas anak. Peraturan dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990.. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak baru dapat dibahas pemerintah dan DPR sekitar pertengahan tahun 2001.
Memperhatikan pasal-pasal serta ayat yang memenuhi undang-undang ini terbaca dengan terang bahwa bangsa ini benar-benar berazam kuat untuk melahirkan anak yang berkualitas. Dari keseluruhan pasal yang tersedia menarik untuk menelaah pasal 2 dan 3 undang-undang ini mengingat kedua pasal tersebut membicarakan asas dan tujuan. Dua buah pasal yang sesungguhnya menjadi jiwa dari pasal-pasal lain. Karena kedua pasal ini sangat membantu untuk memahami keseluruhan pasal-pasal lain dalam undang-undang dimaksud.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa tujuan dari Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?
2. Bagaimana cara pencapaian tujuan yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?






















BAB II
PEMBAHASAN

Tujuan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Tujuan dari keberadaan UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat dengan jelas dilihat dalam pasal 3 dari UU ini. Pasal 3 dari undang-undang ini menyebutkan:
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujud-nya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU ini mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam pasal 13.
Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” Dan pada pasal 24 yang berbunyi “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”






BAB III
Cara Pencapaian UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Cara Pencapaian tujuan dari UU nomor 23 tahun 2002 ini dapat dilihat dalam beberapa pasal, yakni:
1. Pasal 2 yang menyebutkan:
“Penyelenggaraan perlindungan anak berlandaskan pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945 serta prinisp-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi:
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan;
d. penghargaan terhadap pendapat anak.”

Pasal diatas merupakan asas-asas yang digunakan dalam UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan sekeligus sebagai cara pencapaian dari tujuan yang dikandung didalamnya. Jadi untuk mencapai tujuan dari UU ini, maka asas-asas tersebut harus diimplementasikan dalam usaha perlindungan anak.
Penjelasan terhadap pasal ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan asas perlindungan anak adalah perlindungan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
A. Prinsip Non Diskriminasi
Alinea pertama dari Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental obligations of state parties) yang mengikatkan diri dengan Konvensi Hak Anak, untuk menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
Prinsip non diskriminasi ini diartikulasikan pada umumnya konvensi dan atau instrumen internasional HAM, seperti Universal Declaration of Human rights, International Covenant on Civil and Political Rights, and Covenan on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on Elimination of All Form Discriminartion Against Women (CEDAW). Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain.
Perlu digarisbawahi kemungkinan terjadinya diskriminasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus, anak tidak beruntung atau kelompok anak-anak yang beresiko, misalnya anak cacat (disabled children), anak pengungsi (refugee children). Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak. Acuan terhadap diskriminasi dapat pula dikutip dari Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang memberikan definisi atas “racial discrimination”, sebagai berikut:
“any distinction, exclusion, restriction or preference base on race, colour, descent or national ethnic origin wich has the purpose or effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise, on an equal footing, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural or any other field of public life”.
Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat diperoleh dari Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut:
“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice yang dikenal dengan “Beijing Rules”, juga memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan Nomor 2 ayat 1 Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik, dan pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status lainnya.
Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2 6, dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut:“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

B. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif. Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society).
Jika dirunut dalam sejarahnya, prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959. Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut:
“The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”.
Menurut Lord McDermont, “paramountcy means more than that the child’s welfare is to be treated as the top item in a list of terms relevan to be matter in question…”.
Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang. Guna menjalankan prinsip the best interest of the child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat 2 KHA ditegaskan bahwa negara peserta menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orangtua bertanggungjawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya.
Dalam situasi dimana tanggungjawab dari keluarga atau orangtua tidak dapat dijalankannya, maka negara mesti menyediakan program “jaminan sosial” (“savety net”). Perihal jaminan sosial ini, diharmonisasikan ke dalam Pasal 8 UU No. 23/2002 yang secara eksplisit menyebutkannya sebagai hak anak yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah. Bahkan dengan rumusan Pasal 3 ayat 3 KHA, negara mesti menjamin institusi-institusi, pelayanan, dan fasilitas yang diberikan tanggungjawab untuk kepedulian pada anak atau perlindungan anak yang sesuai dengan standar yang dibangun oleh lembaga yang berkompeten. Negara mesti membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan bahwa semua institusi yang bertanggung-jawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring atas pelaksanaannya.
Sejalan dengan Pasal 3 ayat 1 KHA yang diulas dimuka, dalam Beijing Rules juga dikandung prinsip the best interest of the child. Menurut Beijing Rules, negara anggota (state member) berusaha mendorong kesejahteraan anak beserta keluarganya (vide Peraturan 1 ayat 1), dan menentukan bahwa sistem peradilan anak harus menekankan kesejahteraan anak (vide Peraturan 5 ayat 1), dan prosedur

C. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan
Prinsip ini merupakan implementasi dari pasal 6 KHA, yang kemudian secara eksplisit dianut sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya, prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23/ 2002. Jika dibandingkan, norma hukum pasal 4 UU No. 23/2002 mengacu dan bersumber kepada Pasal 28 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945. Sementara itu, ketentuan perundang-undangan lainnya seperti UU No. 39/1999 juga mengatur hak hidup ini yang merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No. 39/1999). Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right). Sebelum disahkannya KHA, beberapa instrumen/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (pasal 6).
Bahkan, dalam General Comment -nya pada tahun 1982, The Human Rights Committee, menyebutkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan termasuk dalam waktu darurat (rights to life … is the supreme right from which no derogation is permitted even in time of emergency)

D. Penghargaan terhadap Pendapat Anak
Prinsip ini merupakan wujud dari hak partisipasi anak yang diserap dari Pasal 12 KHA. Mengacu kepada Pasal 12 ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely). Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak.
Sejalan dengan itu, negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam Pasal 3 UU No. 23/2002, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak ini juga secara eksplisit diadopsi sebagai prinsip dasar, bersamaan dengan Pancasila sebagai asas dan UUD 1945 sebagai landasan penyelenggaraan perlindungan anak.

2. Pasal 72 ayat (1&2) yakni tentang peran serta masyarakat:
Dalam pasal ini disebutkan bahwa masyarakat diberi hak untuk memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. Peran tersebut dapat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga social kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha ataupun media massa.
Dalam pencapaian tujuan UU ini memang tidak bisa hanya mengandalkan peran pemerintah saja, masyarakat hendaknya ikut berpartisipasi dalam hal ini karena kehidupan anak-anak sangat dekat dan tidak terlepas dari masyarakat sendiri. Ketika seseorang melihat dan merasakan suatu ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi serta kejaatan terhadap anak-anak, hendaknya dengan penuh kesadarn segera menindaklanjuti hal tersebut kepada yang berwenang.

3. Pasal 74 yakni tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Pasal ini menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatakan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka dibentuklah Komisi perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independent yang disingkat KPAI.
KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan Komisi Negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelengaraan perlindungan anak.
Selain itu, yang menjadi alasan dibentuknya KPAI adalah karena dalam Konvensi Hak Anak (KHA) disebutkan bahwa setiap negara (yang turut meratifikasi) harus memiliki komisi nasional. Terbentuknya KPAI memperlihatkan suatu realita bahwa pemerintah menaruh perhatian dan berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar anak terhindarkan dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.
Sesuai dengan amanat UU No: 23 tahun 2002 pasal 75 ayat (2), ke sembilan anggota KPAI tersebut merupakan wakil dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan wakil dari kelompok masyarakat yang kesemuanya terpilih melalui proses seleksi.
Tim KPAI inilah yang bertugas mengindentifikasi hal-hal yang dianggap sebagai bentuk tindakan diskriminasi, cakupan hak anak dan kekerasan terhadap anak. Hasil temuan KPAI juga sangat mempengaruhi keputusan pengadilan tentang pengalihan hak pengasuhan anak, terutama dalam kasus-kasus perceraian dan kasus yang dianggap diskriminasi anak. KPAI mempunyai hak melakukan suatu tindakan yang dianggap tepat untuk melidungi psikologi jiwa dan fisik anak
Sebagai lembaga independen, KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

4. Ketentuan Pidana dalam UU ini diperberat daripada KUHP.
Selanjutnya untuk mencapai tujuan dari UU ini adalah undang-undang ini memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan KUHP, yakni memperberat sanksi pidana terhadap orang yang berbuat tindak pidana terhadap anak. Misalnya ada sanksi cukup tinggi berupa hukuman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun dengan denda maksimal Rp 300 juta dan minimal 60 juta tindakan yang berhubungan dengan perkosaan dan percabulan terhadap anak yang diatur di dalam KUHP.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
a) Tujuan dari UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anaka sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 UU ini ialah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujud-nya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
b) Cara pencapaian tujuan dari UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini ialah terdapat dalam pasal 2 tentang asas atau prinsip yang harus diimplementasikan dalam perlindungan anak, yakni prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak. Selanjutnya terdapat dalam pasal 72 ayat (1&2) tentang peran serta masyarakat. Dalam upaya perlindungan anak, selain pemerintah, peran masyarakat juga sangat dibutuhakan. Selanjutnya terdapat dalam pasal 74 yakni tentang Komisi Perlindungan Anak. Dalam rangka peningkatan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka dengan UU ini dibentuklah Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Selanjutnya ialah UU ini memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap anak dengan memperberat ketentuan pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana terhadap anak.
4.2 Saran
a) Sebelum mengetahui tujuan dari UU ini hendaknya semua pihak harus mengetahui tentang ruang lingkup perlindungan anak yang dapat dibedakan dalam 2 pengertian: a. perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi bidang hukum publik dan keperdataan, b. perlindungan bersifat non yuridis yang meliputi bidang sosial, kesehatan dan pendidikan.
b) Mengenai cara mencapai tujuan dari UU no 23 tahun 2002 ini hendaknya dilakukan bersama antara setiap warga Negara, anggota masyarakat (individual maupun kolektif) dan pemerintah demi kepentingan bersama.
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, W Mulyanah, 1986, Hukum dan Hak-hak Anak, CV. Rajawali, Jakarta

Soemitro, Setyowati Irma, S.H., 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi ______________Aksara, Jakarta

Arif Gosita, DR, S.H., 2002, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), ______________PT Buana Ilmu Populer, Jakarta Barat

Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, 2007, ______________Transmedia Jakarta, Jakarta Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar