BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak sering kali dipersepsikan sebagai manusia yang masih berada pada tahap perkembangan sehingga belum dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh. Dengan keterbatasan usia yang tentunya berpengaruh pada pola pikir dan tindakan, anak belum mampu untuk memilah antara hal yang baik dan buruk.
Oleh karena itu, pengawasan ekstra terhadap anak baik secara pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, perlu dilakukan. Hal tersebut ditujukan untuk melindungi hak-hak anak serta mencegah masuknya pengaruh eksternal yang negatif yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Pengawasan serta perlindungan tidak hanya wajib diberikan oleh orang tua. Peran pemerintah serta masyarakat pada umumnya juga turut menentukan nasib anak.
Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam hal melindungi anak bangsa adalah dengan memberikan suatu perlindungan hukum bagi anak. Perlindungan hukum yang diperlukan adalah dalam bentuk regulasi serta penerapannya yang diharapkan dapat memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia. Selain itu, untuk mendapat perlindungan dari segala macam kekerasan, ketidakadilan, penelantaran, diskriminasi, eksploitasi, maupun perbuatan negatif lain demi terwujudnya anak bangsa yang tangguh sebagai generasi penerus di masa yang akan datang. Oleh karena itu penulis akan membahas tentang KPAI yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan hak anak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Anak
Di Indonesia, perlindungan anak, salah satunya diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990.. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak baru dapat dibahas pemerintah dan DPR sekitar pertengahan tahun 2001.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanyalah sebatas umur saja. Sebenarnya mendefinsikan anak / belum dewasa itu menjadi begitu rancu ketika melihat batas umur anak atau batas dewasanya seseorang dalam peraturan perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda.
Anak yang dilahirkan memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia. Seorang anak juga memiliki hak mendapat pengakuan dari lingkungan mereka, rasa hormat atas kemampuan mereka, pemajuan dan perlindungan, serta harga diri dan partisipasi tanpa harus mencapai usia kedewasaan terlebih dahulu. Hak dan kewajiban anak diatur dalam pasal 4 hingga pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah menurut agamanya, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan pengajaran, mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya, memanfaatkan waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri.
Dengan diaturnya hak dan kewajiban anak dalam sebuah undang-undang, pemerintah menaruh harapan bahwa negara, keluarga, dan masyarakat mengetahui dan melaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur. Namun, anak sering kali hidup, tumbuh dan berkembang tanpa diperhatikan pemenuhan terhadap segala hal yang menjadi haknya. Banyak anak yang putus sekolah dengan alasan kedua orangtuanya tidak lagi mampu membiayai kebutuhan pendidikan mereka. Anak-anak yang putus sekolah ini juga sering kali menjadi sasaran eksploitasi entah dari orangtuanya sendiri maupun dari orang lain. Banyak anak-anak dipaksa bekerja untuk membantu mengurangi beban hidup keluarga. Mereka pun pada akhirnya kehilangan waktu untuk bisa bergaul atau bermain dengan anak sebayanya. Artinya, perhatian serta penerapan KHA dan UU Perlindungan Anak belum terealisasi dengan baik. Selanjutnya, ini akan menjadi tugas bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia .
B. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan Komisi Negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelengaraan perlindungan anak.
Selain itu, yang menjadi alasan dibentuknya KPAI adalah karena dalam Konvensi Hak Anak (KHA) disebutkan bahwa setiap negara (yang turut meratifikasi) harus memiliki komisi nasional. Terbentuknya KPAI memperlihatkan suatu realita bahwa pemerintah menaruh perhatian dan berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak agar anak terhindarkan dari perbuatan-perbuatan yang merugikan.
Sesuai dengan amanat UU No: 23 tahun 2002 pasal 75 ayat (2), ke sembilan anggota KPAI tersebut merupakan wakil dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan wakil dari kelompok masyarakat yang kesemuanya terpilih melalui proses seleksi.
Tim KPAI inilah yang bertugas mengindentifikasi hal-hal yang dianggap sebagai bentuk tindakan diskriminasi, cakupan hak anak dan kekerasan terhadap anak. Hasil temuan KPAI juga sangat mempengaruhi keputusan pengadilan tentang pengalihan hak pengasuhan anak, terutama dalam kasus-kasus perceraian dan kasus yang dianggap diskriminasi anak. KPAI mempunyai hak melakukan suatu tindakan yang dianggap tepat untuk melidungi psikologi jiwa dan fisik anak bahkan tanpa seizin orangtuanya. Seolah-olah indepedensi dan kinerja KPAI sebagai pengawal dan pengawas UU No: 23 tahun 2002 melampaui kewenangan dan hak orangtua terhadap anak mereka.
Sebagai lembaga independen, KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Sejak pendiriannya, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan program-programnya dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Selain itu, sumber dana juga dimungkinkan dari bantuan asing bila memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Mengenai laporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana guna adanya transparansi serta agar tidak menimbulkan kecurigaan adanya perbuatan koruptif maupun kolutif dalam tubuh KPAI, KPAI mencantumkannya dalam rapat dengar pendapat dengan DPR.
Sayangnya popularitas KPAI kalah dengan Komnas Anak. Gaung KPAI hanya terdengar sayup-sayup. Amat disayangkan memang, masyarakat justru tidak mengenal ataupun mengetahui keberadaan KPAI serta fungsi dari komisi nasional ini. Padahal berbeda dengan KPAI, Komnas Anak hanyalah merupakan LSM yang disahkan dengan Surat Akta Notaris sebagaimana layaknya pembentukan LSM atau yayasan sosial lainnya. Selain itu, bila KPAI memiliki sumber dana yang pasti untuk menjalankan tugas-tugasnya, Komnas Anak hanya memperoleh dana untuk membiayai operasional serta program-programnya dari hasil kerja sama dengan para donor asing semisal UNICEF.
Setiap tahunnya pun perolehan dana Komnas Anak sangat fluktuatif, tergantung pendonor dana. Namun buktinya, dengan dana yang tidak pasti ini tidak membuat Komnas Anak terhambat dalam menjalankan programnya.. Bahkan sering kali anggota Komnas Anak menggunakan uang mereka pribadi untuk membantu membiayai terlaksananya program-program. KPAI sendiri sering mengeluhkan kurangnya dana yang dianggarkan pemerintah untuk KPAI. Menurut KPAI, kurangnya dana dari pemerintah lah yang menjadi penyebab kurang efektif kinerja KPAI dalam menjalankan tugas maupun program-program yang telah direncanakan.
Kinerja KPAI dinilai banyak pihak kurang memuaskan karena memang tidak menimbulkan pengaruh di masyarakat. KPAI kurang menyentuh masyarakat. KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik. Sebuah indikasi bahwa kinerja KPAI belum cukup maksimal. Selama ini pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak, lebih banyak disalurkan ke Komnas Anak.
Eksistensi KPAI pun jadi dipertanyakan karena minimnya minat serta pengetahuan masyarakat dalam menjadikan KPAI sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan anak. Dengan atau tidak adanya KPAI, sebenarnya tidak menimbulkan dampak apa-apa terhadap kelangsungan pemenuhan hak serta perlindungan yang sejak awal dijanjikan KPAI pada anak-anak Indonesia .
Bahkan dewasa ini anak-anak menjadi marak dimanfaatkan untuk ikut serta dalam kampanye. Padahal jelas tercantum dalam UU Perlindungan Anak bahwa tiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Kemana KPAI ketika kampanye berlangsung dan hak perlindungan anak disimpangi? Perlu banyak perbaikan disini. Tidak hanya perbaikan kinerja KPAI sebagai komisi negara saja tapi juga perbaikan terhadap pelaksanaan nyata atas UU Perlindungan Anak sehingga menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan anak-anak di Indonesia. Anak merupakan generasi penerus, maka diperlukan langkah yang pasti dalam menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, berkualitas dan mampu bersaing dalam memajukan negeri ini
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kinerja KPAI dinilai banyak pihak kurang memuaskan karena memang tidak menimbulkan pengaruh di masyarakat. KPAI kurang menyentuh masyarakat. KPAI tidak ada ketika masyarakat justru membutuhkan adanya perhatian serta perlindungan bagi anak-anak mereka maupun anak-anak dalam lingkungan suatu masyarakat. Ini bukti bahwa sosialisasi yang menjadi salah satu tugas KPAI tidak berjalan dengan baik. Sebuah indikasi bahwa kinerja KPAI belum cukup maksimal. Selama ini pengaduan masyarakat terkait masalah-masalah perlindungan anak serta masalah penyimpangan perlakuan terhadap anak, lebih banyak disalurkan ke Komnas Anak.
MAKALAH
HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN
(Eksistensi Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas
Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan
Oleh : Siti Nafi’ah
NIM : 07120015
JURUSAN SYARI’AH TWINING PROGRAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009
Vee_ah's Library
Innallaaha 'inda dzanni 'abdihi
Selamat Datang
WELCOME TO MY BLOG.......
Sabtu, 18 Desember 2010
Kamis, 16 Desember 2010
“Ide Dasar/Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah
MAKALAH
KEMUHAMMADIYAHAN
“Ide Dasar/Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah ”
Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Kemuhammadiyahan
Oleh : Siti Nafi’ah
NIM : 07120015
JURUSAN SYARI’AH TWINING PROGRAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan pemikiran dalam dunia Islam secara metodologis merupakan usaha para pemikir dan ulama untuk memahami ajaran Islam dengan mempergunakan segenap kemampuan kemanusiaannya sebagaimana dianugerahkan Allah. Usaha pemikiran tersebut kemudian dikaitkan dengan berbagai perkembangan sosial budaya yang sedang berkembang dalam usaha untuk mencari penyelesaian dan mengatasi persoalan di dalam kehidupan kemasyarakatan yang sedang dihadapi.
Hasil pemikiran yang dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh tersebut, kemudian melahirkan berbagai gerakan pembaharuan yang merupakan operasionalisasi dan pelaksanaan dari hasil pemahaman dan pemikirannya terhadap ajaran Islam Di Indonesia lahir beberapa organisasi atau gerakan islam, diantaranya adalalah Muhammadiyah yang lebih dari 30 tahun sebelum merdeka, dan organisasi lainnya yang bergerak di bidang politik, sosial dan pemdidikan.
Muhammadiayah adalah organisasi yang berdiri bersamaan dengan kebangkitan masyarakat Islam Indonesia pada dekade pertama yang sampai hari ini bertahan dan membesar yang sulit dicari persepadanannya. Jika dilihat dari amal usaha dan dan gerakan Muhammadiyah di bidang sosial kemasyarakatan, khususnya di bidang pendidikan dan dan kesehatan, maka Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang terbesar di Indonesia, bahkan banyak kalangan menyebutkan sebagai terbesar di seluruh dunia. Demikian pula dalam berbagai hal yang menyangkut amal usaha dan konseptualisasi nilai-nilai Islam secara kontekstual.
Dengan usaha Muhammadiyah yang terakhir itu, nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan oleh masyarakat menjadi lebih dekat dan akrab dengan permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas yang menyebutkan bahwa Muhammadiayah sebagai organisasi sosial keagamaan yang terbesar di Indonesia bahkan banyak yang mengatakan yang terbesar di dunia, maka sangat menarik sekali jika kita lebih mendalami untuk memahami tentang bagaimana sebenarnya latar belakng berdirinya Muhammdiyah dan apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi pendiriannya, sehingga sampai saat ini masih bisa tetap terjaga eksistensinya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang terbesar di Indonesia bahkan dunia.
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas ujian akhir semester yang diberikan oleh dosen pembina mata kuliah kemuhammadiyahan. Disamping itu penulis juga ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana Muhammadiyah didirikan serta apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi pendiriannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muhammadiyah
Perserikatan Muhammadiyah sudah dikenal luas sejak beberapa puluh tahun yang lalu oleh masyarakat Internasioanal , khususnya oleh masyarakat 'alam Ialamy. Nama Muhammadiyah sudah sangat akrab di telinga masayarkat pada umumnya .Adapun arti nama muhammadiyah dapat dilihat dari dua segi , yaitu arti bahasa atau etimologis dan arti istilah atau terminologis.
1. Arti Bahasa atau estimologis :
Muhammadiyah berasal dari kata bahasa arab "Muhammad" yaitu nama nabi atau Rasul yang terakhir. Kemudian mendapatkan "ya nisbiyah "yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikut Muhammad. Yaitu semua orang yang meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir .Dengan demikian siapapun yang beragama Islam maka dia adalah orang Muhammadiyah , tanpa dilihat atau dibatasi oleh perbedaan Organisasi, golongan bangsa , geografis , etnis , dsb.
2. Arti Istilah atau terminologis :
Muhammadiyah adalah gerakan Islam , Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar , berasas Islam dan bersumber dari Al Qur'an dan Sunah didirikan oleh KHA . Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, bertepatan tanggal 18 November 1912 M di kota Yogyakarta .
B. Muhammadiyah Sebelum Menjadi Organisasi
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiayh sebagai upaya penyempurnaan pemikiran beliau dalam melaksanakan Islam dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Sebelum resmi menjadi organisasi, embrio Muhammadiayah merupakan gerakan atau bentuk kegiatan dalam rangka melaksanakan agama Islam secara bersama-sama. Perkumpulan ini diprakarsai oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan bermula di kampung kauman.
Dengan didirikan di Kauman memberikan kesan bahwa Kiyai Haji Ahmad Dahlan sangat memperhatikan lingkungannya. Mungkin dijiwai oleh ayat Alquran yang berbunyi: Quu anfusakum wa ahlikum naara, yang artinya “ Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Gerakan yang digetarkan oleh motivasi seperti itulah yang nantinya barhak mempunyai landasan dan akar yang kuat.
Dalam gerakannya itu beliau dibantu oleh sahabat-sahabatnya. Ini membuktikan bahwa untuk melaksanakan Islam tidak bisa sendirian, tetapi harus bersama-sama dengan yang lain. Karenanya belakangan KH Ahmad Dahlan memilih orang-orang yang sepaham, yang juga mempunyai pikiran jangka jauh. Sebanya karena gerakan ini tidak cukup hanya untuk satu-dua tahun saja, melainkan untuk terus menerus. Untuk itulah diangkat beberpa orang murid (santri).
Kemudian pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 (bertepatan tanggal 18 november 1912) Muhammadiyah diresmikan menjadi organisasi persyarikatan dan berkedudukan di Yogyakarta yang dipimpin langsung oleh KH. Ahmad dahlan. Jadi organisasi yang didirikannya merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan gerakan yang telah dilakukan sebelumnya.
C. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Lahirnya Muhammadiyah
Terdapat cukup banyak penjelasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, kalau penjelasan-penjelasan ini diasumsikan sebagai teori, maka Djindar Tamimi berpendapat bahwa faktor-faktor subjektif dan objektif adalah mendorong berdirinya Muhammdiyah. Faktor subjektif berkenaan dengan pribadi Ahmad dahlan sendiri. Sedangkan faktor objektif dibedakan atas dua macam, yaitu intern dan ekstern. Teori lain yang hanya mempertimbangkan aspek realitas sosial yang mendorong lahirnya Muhammadiyah yaitu hanya ada dua faktor, internal dan eksternal. Faktor Internal berkenaan dengan kondisi keberagamaan umat Islam di Jawa, sedangkan faktor eksternalnya adalah adanya pengaruh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah dan politik Islam-Belanda tarhadap kaum muslimin di Indonesia.
Selain itu, terdapat teori lain yang mengatakan bahwa telaah mengenai latar belakang berdirinya Muhammadiyah berhubungan dengan masalah yang saling terkait, yaitu aspirasi Islam ahamd Dahlan, realitas sosio-agama di Indonesia, realitas sosio-pendidikan di Indonesia dan relitas politik Islam Hindia-Belanda.
Dan selanjutnya adalah teori yang mengatakan ada tiga faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, yaitu gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah, Pertentangan internal dalam masyarakat jawa dan yang paling penting adalah penetrasi misi Kristen di Indonesia. Faktor yang terkhir dianggap yang paling menentukan dilihat dari berbagai kebijakan politik pemerintah kolonial terhadap Islam dan proteksinya terhadap Nasrani, misalnya adalah ordonansi guru, pelanggaran-pelanggarannya terhadap kebudayaan lokal dan pembentukan freemasonry.
Berikut pembahasan yang lebih rinci tentang beberapa teori mengenai latar belakang lahirnya Muhammadiayah;
1. Teori yang dikemukakan oleh Djindar Tamimy
Faktor yang mendorong berdirinya Muhammdiyah ada dua, yaitu:
a. Faktor Subyektif:
Bersifat subyek, ialah pelakunya sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral, sedangkan faktor yang lain hanya menjadi penunjang saja. Yang dimaksudkan disini ialah, kalau mau mendirikan Muhammadiyahmaka harus dimulai dari orangnya sendiri. Kalau tidaka, maka Muhammadiyah bisa dibawa kemana saja
Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan Kiyai Haji ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Ia dilahirka tahun 1868 dan wafat tahun 1923 m, dimakamkan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta hayat yang dikecap selama 55 tahun, berarti meninggal dalam usia relative muda. Sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukkan rasa keagaman KH Ahamad Dahlan tidak hanya berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.
Dikala mudanya, beliau terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan bebas serta memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan, dibawa dalam perenungan-perenungan dan ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang menentukan Ahamd Dahlan sebagai subjek yang nantinya mendorong berdirinya Muhammadiyah.
Namun faham dan keyakinan agamanya barulah menemukan wujud dan bentuknya yang mantap sesudah menunaikan ibadah hajinya yang kedua (1902 M) dan sempat bermukuim beberapa tahun di tanah suci. Waktu itu beliau sudah mampu dan berkesempatan membaca ataupun mengkaji kitab-kitab yang disusun oleh alaim ulama yang mempunyai aliran hendak kembali kepada al-Quran dan As- Sunnah dengan menggunakan akal yang cerdas dan bebas. Faham dan keyakinan agama yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman agamanya inilah yang mendorong kelahiran Muhammadiyah.
b. Faktor Obyektif
Faktor obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Hal ini merupakan pendorong lebih lanjut dari permulaan yang telah ditetapkan hendak dilakukan subyek. Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu intern ummat Islam dan ekstern ummat Islam.
Faktor obyektif intern ummat Islam ialah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang masuk di Indonesia ternyata sebagai akibat perkembangan Agama Islam pada umumnya sudah tidak utuh dan tidak murni lagi. Kalau ajaran sudah tidak murni, tidak diambil dari sumbernya yang asli, sudah dicampur dengan ajaran-ajaran yang lain (sinkretisme), kemudian yang dikaji bukan Islam seutuhnya melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap sesuai dengan kebudayaan setempat, maka ketika Islam yang seperti itu difahami dan dilaksanakan, sudah tidak bisa memberikan manfaat yang dijanjikan oleh Islam terhadap pemeluknya.
Faktor obyektif yang seperti itu lebih mendorong Ahmad Dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan sarana memperbaiki Agama dan ummat Islam Indonesia.
Selanjutnya ialah faktor obyektif Ekstern ummat Islam. Pemerintah Hindia-Belanda merupakan keadaan obyektif ekstern ummat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah. Pemerintah Hindia-Belanda memegang kekuasaan yang menentukan segala-galanya. Agama Pemerintah Belanda yang resmi ialah protestan yang dengan sendirinya tidak menghendaki Agama Islam.
Pemerintah Belanada mempunyai pendirian untuk menjaga kelangsungan kekuasaan di tanah jajahan, terutama tanah jajahan yang penduduknya mayoritas Islam. Demi kelngsungan kekuasaannya di Indonesia, pemerintah penjajah Hindia-Belanda berpendirian bahwa ajaran Agama Islam yang utuh dan murni tidak boleh hidup dan berkembang di tanah jajahan. Maka ajaran Agama Islam (yang tidak utuh dan murni lagi itulah yang dikehendaki. Ajaran Isalam yang seperti itu untuk hidup terus dan berkembang lebih lanjut.
Faktor obyektif di luar ummat islam lainnya ialah dari anagkatan muda yang sudah mendapat pendidikan Barat yang mengadakan gerakan-gerakan yang untuk memusuhi apa yang menjadi maksud gerakan Muhammadiayah. Itu semua yang mendorong KH Ahmad dahlan memperjuangkan faham dan keyakinan agamanya dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.
2. Teori yang Hanya Mempertimbangkan Aspek Realitas Sosial
a. Faktor Internal
Yang dimaksud faktor internal ialah faktor yang berkaitan dengan kondisi keagamaan kaum muslimin Indonesia sendiri yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Sebelum Islamm datang, terlebih dahulu di Indonesia sudah bercokol Agama Hindu dan Budha yang cukup berpengaruh dalam mewarnai keruhanian penduduk Indonesia. Kehidupan keagamaan yang tampak ketika itu ialah sinkretisme, yaitu campuran antara kepercayaan tradisional yang telah menjelma menjdi adat kebiasaan yang yang bersifat agamis dengan bentuk mistik yang dijiwai oleh Agama Hindu atau Budha.
Kemudian Islam datang pada abad VII atau VIII Masehi, maka sinkretisme itu bertambah dengan unsur Islam. Inilah faktor internal yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah.
b. Faktor Eksternal
1. Politik Islam Belanda Terhadap Kaum Muslimin di Indonesia
Politik Islam Belanda yang didasarkan pada konsep Snouck Hurgronje sangat bermusuhan kepada Islam dan ummat Islam Indonesia. Adapun realisasi politik Islam Belanda antara lain dalam bentuk pembatasan-pembatasan kepada setiap aktivitas kaum muslimin, sperti dilarang mendirikan organisasi politik, disensornya semua penerbitan yang datang dari luar dan dibatasinya jamaah haji Indinesia.
2. Pengaruh Ide dan Gerakan Pembaruan Islam di Timur Tengah
Pengaruh Makkah masuk ke Indonesia melalui orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Sewaktu di Makkah, mereka mempelajari Islam dengan memperdalam beberapa aspek ajaran isla, terutama fikih. Khusus tentang hajinya Ahmad dahlan ke tanah suci dan tinggal disana untuk studi Islam beberapa tahun, menjadikan beliau makin terbiasa dengan ide pembaruan. Pengamatan langsung terhadap daerah pusat Islam yang banyak terpengaruh ole hide pembaruan ini, akhirnya mendorong K.H. Ahmad dahlan untuk mendirikan gerakan pembaruan Islam Indonesia, yaitu Muhammadiyah.
3. Teori yang mengatakan berdirinya Muhammadiyah berhubungsan erat dengan tiga masalah pokok, yaitu:
1. Pemikiran Islam Ahmad Dahlan
Aksi sosial Ahmad Dahlan bukan semata gerakan keagamaan dalam arti ritual, melainkan bisa disebut sebagai “revolusi kebudayaan”. Berbagai gagasan dan aksi sosial Ahmad Dahlan tidak hanya mencerminkan nalar kritisnya, melainkan juga menunjukkan kepedulian pada nasib rakyat kebanyakan yang menderita, tidak berpendidikan dan miskin.
Aktualisasi Islam tidak hanya secara pribadi, manusia diwajibkan menegakkan Islam ditengah-tengah masyarakat. Ahmad Dahlan tidak menginginkan masyarakat Islam yang seperti dahulu, ataupun masyarakat baru yang membentuk budaya Islam baru. Jalan yang ditempuh Ahmad Dahlan adalah dengan menggembirakan umat Islam Indonesia untuk beramal dan berbakti sesuai dengan ajaran Islam. Bidang pendidikan misalnya, Ahmad dahlan mengadopsi sistem pendidikan Belanda karena diangap efektif. Bahkan membuka peluang bagi wanita Islam untuk sekolah, padahal di Arab, India dan Pakistan ini menjadi masalah. Sedangkan dibidang sosial Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan untuk memelihara anak yatim dan anak-anak terlantar lainnya. Yang kemudian banyak berkembang Yayasan-yayasan Yatim Piatu Muhammadiyah, Rumahsakit PKU Muhammadiyah, dan tersbesar adalah lembaga pendidikan Muhammadiyah baik TK, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlahnya terbesar di Indonesia.
2. Realitas Sosial Agama di Indonesia
Kondisi masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha, memunculkan kepercayaan dan praktik Ibadah yang menyimpang dari Islam. Kepercayaan dan praktik ibadah tersebut dikenal dengan sitilah Bid’ah dan Khurafat. Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah menurut Alquran dan al hadits, hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang mereka. Sedangkan bid’ah adalah bentuk ibadah yang dilakukan tanpa dasar pedoman yang jelas, melainkan hanya ikut-ikutan orangtua atau nenek moyang saja.
Melihat realitas sosio-agama ini mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah . Namun, gerakan pemurniannya dalam arti pemurnian ajaran Islam dari bid’ah dan khurafat baru dilakukan pada tahun 1916.Dalam konteks sosio-agama ini, Muhammadiyah merupakan gerakan pemurnian yang menginginkan pembersihan Islam dari semua sinkretisme dan praktik ibadah yang terlebih tanpa dasar akaran Islam (Takhayul, Bid’ah, Khurafat).
3. Realitas sosio-Pendidikan di Indonesia
Ahmad dahlan mengetahui bahwa pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua yaitu pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran agama dan pendidikan Barat yang sekuler. Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan yang mendapat pendidikan agama dengan golongan yang mendapatkan pendidikan sekuler. Kesenjangan ini termanifestasi dalam bentuk berbusana, berbicara, hidup dan berpikir. Ahmad Dahlan mengkaji secara mendalam dua sistem pendidikan yang sangat kontras ini.
Dualisme sistem pendidikan diatas membuat prihatin Ahmad Dahlan, oleh karena itu cita-cita pendidikan Ahmad Dahlan ialah melahirkan manusia yang berpandangan luas dan memiliki pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia untuk kemajuan masyarakatnya. Cita-cita ini dilakukan dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan kurikulum yang menggabungkan antara Imtak dan Iptek.
4.
KEMUHAMMADIYAHAN
“Ide Dasar/Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah ”
Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Kemuhammadiyahan
Oleh : Siti Nafi’ah
NIM : 07120015
JURUSAN SYARI’AH TWINING PROGRAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan pemikiran dalam dunia Islam secara metodologis merupakan usaha para pemikir dan ulama untuk memahami ajaran Islam dengan mempergunakan segenap kemampuan kemanusiaannya sebagaimana dianugerahkan Allah. Usaha pemikiran tersebut kemudian dikaitkan dengan berbagai perkembangan sosial budaya yang sedang berkembang dalam usaha untuk mencari penyelesaian dan mengatasi persoalan di dalam kehidupan kemasyarakatan yang sedang dihadapi.
Hasil pemikiran yang dilakukan secara mendalam dan sungguh-sungguh tersebut, kemudian melahirkan berbagai gerakan pembaharuan yang merupakan operasionalisasi dan pelaksanaan dari hasil pemahaman dan pemikirannya terhadap ajaran Islam Di Indonesia lahir beberapa organisasi atau gerakan islam, diantaranya adalalah Muhammadiyah yang lebih dari 30 tahun sebelum merdeka, dan organisasi lainnya yang bergerak di bidang politik, sosial dan pemdidikan.
Muhammadiayah adalah organisasi yang berdiri bersamaan dengan kebangkitan masyarakat Islam Indonesia pada dekade pertama yang sampai hari ini bertahan dan membesar yang sulit dicari persepadanannya. Jika dilihat dari amal usaha dan dan gerakan Muhammadiyah di bidang sosial kemasyarakatan, khususnya di bidang pendidikan dan dan kesehatan, maka Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang terbesar di Indonesia, bahkan banyak kalangan menyebutkan sebagai terbesar di seluruh dunia. Demikian pula dalam berbagai hal yang menyangkut amal usaha dan konseptualisasi nilai-nilai Islam secara kontekstual.
Dengan usaha Muhammadiyah yang terakhir itu, nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan oleh masyarakat menjadi lebih dekat dan akrab dengan permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas yang menyebutkan bahwa Muhammadiayah sebagai organisasi sosial keagamaan yang terbesar di Indonesia bahkan banyak yang mengatakan yang terbesar di dunia, maka sangat menarik sekali jika kita lebih mendalami untuk memahami tentang bagaimana sebenarnya latar belakng berdirinya Muhammdiyah dan apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi pendiriannya, sehingga sampai saat ini masih bisa tetap terjaga eksistensinya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang terbesar di Indonesia bahkan dunia.
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas ujian akhir semester yang diberikan oleh dosen pembina mata kuliah kemuhammadiyahan. Disamping itu penulis juga ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana Muhammadiyah didirikan serta apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi pendiriannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muhammadiyah
Perserikatan Muhammadiyah sudah dikenal luas sejak beberapa puluh tahun yang lalu oleh masyarakat Internasioanal , khususnya oleh masyarakat 'alam Ialamy. Nama Muhammadiyah sudah sangat akrab di telinga masayarkat pada umumnya .Adapun arti nama muhammadiyah dapat dilihat dari dua segi , yaitu arti bahasa atau etimologis dan arti istilah atau terminologis.
1. Arti Bahasa atau estimologis :
Muhammadiyah berasal dari kata bahasa arab "Muhammad" yaitu nama nabi atau Rasul yang terakhir. Kemudian mendapatkan "ya nisbiyah "yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikut Muhammad. Yaitu semua orang yang meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir .Dengan demikian siapapun yang beragama Islam maka dia adalah orang Muhammadiyah , tanpa dilihat atau dibatasi oleh perbedaan Organisasi, golongan bangsa , geografis , etnis , dsb.
2. Arti Istilah atau terminologis :
Muhammadiyah adalah gerakan Islam , Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar , berasas Islam dan bersumber dari Al Qur'an dan Sunah didirikan oleh KHA . Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, bertepatan tanggal 18 November 1912 M di kota Yogyakarta .
B. Muhammadiyah Sebelum Menjadi Organisasi
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiayh sebagai upaya penyempurnaan pemikiran beliau dalam melaksanakan Islam dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya. Sebelum resmi menjadi organisasi, embrio Muhammadiayah merupakan gerakan atau bentuk kegiatan dalam rangka melaksanakan agama Islam secara bersama-sama. Perkumpulan ini diprakarsai oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan bermula di kampung kauman.
Dengan didirikan di Kauman memberikan kesan bahwa Kiyai Haji Ahmad Dahlan sangat memperhatikan lingkungannya. Mungkin dijiwai oleh ayat Alquran yang berbunyi: Quu anfusakum wa ahlikum naara, yang artinya “ Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Gerakan yang digetarkan oleh motivasi seperti itulah yang nantinya barhak mempunyai landasan dan akar yang kuat.
Dalam gerakannya itu beliau dibantu oleh sahabat-sahabatnya. Ini membuktikan bahwa untuk melaksanakan Islam tidak bisa sendirian, tetapi harus bersama-sama dengan yang lain. Karenanya belakangan KH Ahmad Dahlan memilih orang-orang yang sepaham, yang juga mempunyai pikiran jangka jauh. Sebanya karena gerakan ini tidak cukup hanya untuk satu-dua tahun saja, melainkan untuk terus menerus. Untuk itulah diangkat beberpa orang murid (santri).
Kemudian pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 (bertepatan tanggal 18 november 1912) Muhammadiyah diresmikan menjadi organisasi persyarikatan dan berkedudukan di Yogyakarta yang dipimpin langsung oleh KH. Ahmad dahlan. Jadi organisasi yang didirikannya merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan gerakan yang telah dilakukan sebelumnya.
C. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Lahirnya Muhammadiyah
Terdapat cukup banyak penjelasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, kalau penjelasan-penjelasan ini diasumsikan sebagai teori, maka Djindar Tamimi berpendapat bahwa faktor-faktor subjektif dan objektif adalah mendorong berdirinya Muhammdiyah. Faktor subjektif berkenaan dengan pribadi Ahmad dahlan sendiri. Sedangkan faktor objektif dibedakan atas dua macam, yaitu intern dan ekstern. Teori lain yang hanya mempertimbangkan aspek realitas sosial yang mendorong lahirnya Muhammadiyah yaitu hanya ada dua faktor, internal dan eksternal. Faktor Internal berkenaan dengan kondisi keberagamaan umat Islam di Jawa, sedangkan faktor eksternalnya adalah adanya pengaruh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah dan politik Islam-Belanda tarhadap kaum muslimin di Indonesia.
Selain itu, terdapat teori lain yang mengatakan bahwa telaah mengenai latar belakang berdirinya Muhammadiyah berhubungan dengan masalah yang saling terkait, yaitu aspirasi Islam ahamd Dahlan, realitas sosio-agama di Indonesia, realitas sosio-pendidikan di Indonesia dan relitas politik Islam Hindia-Belanda.
Dan selanjutnya adalah teori yang mengatakan ada tiga faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, yaitu gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah, Pertentangan internal dalam masyarakat jawa dan yang paling penting adalah penetrasi misi Kristen di Indonesia. Faktor yang terkhir dianggap yang paling menentukan dilihat dari berbagai kebijakan politik pemerintah kolonial terhadap Islam dan proteksinya terhadap Nasrani, misalnya adalah ordonansi guru, pelanggaran-pelanggarannya terhadap kebudayaan lokal dan pembentukan freemasonry.
Berikut pembahasan yang lebih rinci tentang beberapa teori mengenai latar belakang lahirnya Muhammadiayah;
1. Teori yang dikemukakan oleh Djindar Tamimy
Faktor yang mendorong berdirinya Muhammdiyah ada dua, yaitu:
a. Faktor Subyektif:
Bersifat subyek, ialah pelakunya sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral, sedangkan faktor yang lain hanya menjadi penunjang saja. Yang dimaksudkan disini ialah, kalau mau mendirikan Muhammadiyahmaka harus dimulai dari orangnya sendiri. Kalau tidaka, maka Muhammadiyah bisa dibawa kemana saja
Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan Kiyai Haji ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Ia dilahirka tahun 1868 dan wafat tahun 1923 m, dimakamkan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta hayat yang dikecap selama 55 tahun, berarti meninggal dalam usia relative muda. Sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukkan rasa keagaman KH Ahamad Dahlan tidak hanya berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya.
Dikala mudanya, beliau terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan bebas serta memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan, dibawa dalam perenungan-perenungan dan ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang menentukan Ahamd Dahlan sebagai subjek yang nantinya mendorong berdirinya Muhammadiyah.
Namun faham dan keyakinan agamanya barulah menemukan wujud dan bentuknya yang mantap sesudah menunaikan ibadah hajinya yang kedua (1902 M) dan sempat bermukuim beberapa tahun di tanah suci. Waktu itu beliau sudah mampu dan berkesempatan membaca ataupun mengkaji kitab-kitab yang disusun oleh alaim ulama yang mempunyai aliran hendak kembali kepada al-Quran dan As- Sunnah dengan menggunakan akal yang cerdas dan bebas. Faham dan keyakinan agama yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman agamanya inilah yang mendorong kelahiran Muhammadiyah.
b. Faktor Obyektif
Faktor obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Hal ini merupakan pendorong lebih lanjut dari permulaan yang telah ditetapkan hendak dilakukan subyek. Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu intern ummat Islam dan ekstern ummat Islam.
Faktor obyektif intern ummat Islam ialah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang masuk di Indonesia ternyata sebagai akibat perkembangan Agama Islam pada umumnya sudah tidak utuh dan tidak murni lagi. Kalau ajaran sudah tidak murni, tidak diambil dari sumbernya yang asli, sudah dicampur dengan ajaran-ajaran yang lain (sinkretisme), kemudian yang dikaji bukan Islam seutuhnya melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap sesuai dengan kebudayaan setempat, maka ketika Islam yang seperti itu difahami dan dilaksanakan, sudah tidak bisa memberikan manfaat yang dijanjikan oleh Islam terhadap pemeluknya.
Faktor obyektif yang seperti itu lebih mendorong Ahmad Dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan sarana memperbaiki Agama dan ummat Islam Indonesia.
Selanjutnya ialah faktor obyektif Ekstern ummat Islam. Pemerintah Hindia-Belanda merupakan keadaan obyektif ekstern ummat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah. Pemerintah Hindia-Belanda memegang kekuasaan yang menentukan segala-galanya. Agama Pemerintah Belanda yang resmi ialah protestan yang dengan sendirinya tidak menghendaki Agama Islam.
Pemerintah Belanada mempunyai pendirian untuk menjaga kelangsungan kekuasaan di tanah jajahan, terutama tanah jajahan yang penduduknya mayoritas Islam. Demi kelngsungan kekuasaannya di Indonesia, pemerintah penjajah Hindia-Belanda berpendirian bahwa ajaran Agama Islam yang utuh dan murni tidak boleh hidup dan berkembang di tanah jajahan. Maka ajaran Agama Islam (yang tidak utuh dan murni lagi itulah yang dikehendaki. Ajaran Isalam yang seperti itu untuk hidup terus dan berkembang lebih lanjut.
Faktor obyektif di luar ummat islam lainnya ialah dari anagkatan muda yang sudah mendapat pendidikan Barat yang mengadakan gerakan-gerakan yang untuk memusuhi apa yang menjadi maksud gerakan Muhammadiayah. Itu semua yang mendorong KH Ahmad dahlan memperjuangkan faham dan keyakinan agamanya dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.
2. Teori yang Hanya Mempertimbangkan Aspek Realitas Sosial
a. Faktor Internal
Yang dimaksud faktor internal ialah faktor yang berkaitan dengan kondisi keagamaan kaum muslimin Indonesia sendiri yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Sebelum Islamm datang, terlebih dahulu di Indonesia sudah bercokol Agama Hindu dan Budha yang cukup berpengaruh dalam mewarnai keruhanian penduduk Indonesia. Kehidupan keagamaan yang tampak ketika itu ialah sinkretisme, yaitu campuran antara kepercayaan tradisional yang telah menjelma menjdi adat kebiasaan yang yang bersifat agamis dengan bentuk mistik yang dijiwai oleh Agama Hindu atau Budha.
Kemudian Islam datang pada abad VII atau VIII Masehi, maka sinkretisme itu bertambah dengan unsur Islam. Inilah faktor internal yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah.
b. Faktor Eksternal
1. Politik Islam Belanda Terhadap Kaum Muslimin di Indonesia
Politik Islam Belanda yang didasarkan pada konsep Snouck Hurgronje sangat bermusuhan kepada Islam dan ummat Islam Indonesia. Adapun realisasi politik Islam Belanda antara lain dalam bentuk pembatasan-pembatasan kepada setiap aktivitas kaum muslimin, sperti dilarang mendirikan organisasi politik, disensornya semua penerbitan yang datang dari luar dan dibatasinya jamaah haji Indinesia.
2. Pengaruh Ide dan Gerakan Pembaruan Islam di Timur Tengah
Pengaruh Makkah masuk ke Indonesia melalui orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Sewaktu di Makkah, mereka mempelajari Islam dengan memperdalam beberapa aspek ajaran isla, terutama fikih. Khusus tentang hajinya Ahmad dahlan ke tanah suci dan tinggal disana untuk studi Islam beberapa tahun, menjadikan beliau makin terbiasa dengan ide pembaruan. Pengamatan langsung terhadap daerah pusat Islam yang banyak terpengaruh ole hide pembaruan ini, akhirnya mendorong K.H. Ahmad dahlan untuk mendirikan gerakan pembaruan Islam Indonesia, yaitu Muhammadiyah.
3. Teori yang mengatakan berdirinya Muhammadiyah berhubungsan erat dengan tiga masalah pokok, yaitu:
1. Pemikiran Islam Ahmad Dahlan
Aksi sosial Ahmad Dahlan bukan semata gerakan keagamaan dalam arti ritual, melainkan bisa disebut sebagai “revolusi kebudayaan”. Berbagai gagasan dan aksi sosial Ahmad Dahlan tidak hanya mencerminkan nalar kritisnya, melainkan juga menunjukkan kepedulian pada nasib rakyat kebanyakan yang menderita, tidak berpendidikan dan miskin.
Aktualisasi Islam tidak hanya secara pribadi, manusia diwajibkan menegakkan Islam ditengah-tengah masyarakat. Ahmad Dahlan tidak menginginkan masyarakat Islam yang seperti dahulu, ataupun masyarakat baru yang membentuk budaya Islam baru. Jalan yang ditempuh Ahmad Dahlan adalah dengan menggembirakan umat Islam Indonesia untuk beramal dan berbakti sesuai dengan ajaran Islam. Bidang pendidikan misalnya, Ahmad dahlan mengadopsi sistem pendidikan Belanda karena diangap efektif. Bahkan membuka peluang bagi wanita Islam untuk sekolah, padahal di Arab, India dan Pakistan ini menjadi masalah. Sedangkan dibidang sosial Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan untuk memelihara anak yatim dan anak-anak terlantar lainnya. Yang kemudian banyak berkembang Yayasan-yayasan Yatim Piatu Muhammadiyah, Rumahsakit PKU Muhammadiyah, dan tersbesar adalah lembaga pendidikan Muhammadiyah baik TK, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlahnya terbesar di Indonesia.
2. Realitas Sosial Agama di Indonesia
Kondisi masyarakat yang masih sangat kental dengan kebudayaan Hindu dan Budha, memunculkan kepercayaan dan praktik Ibadah yang menyimpang dari Islam. Kepercayaan dan praktik ibadah tersebut dikenal dengan sitilah Bid’ah dan Khurafat. Khurafat adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah menurut Alquran dan al hadits, hanya ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang mereka. Sedangkan bid’ah adalah bentuk ibadah yang dilakukan tanpa dasar pedoman yang jelas, melainkan hanya ikut-ikutan orangtua atau nenek moyang saja.
Melihat realitas sosio-agama ini mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah . Namun, gerakan pemurniannya dalam arti pemurnian ajaran Islam dari bid’ah dan khurafat baru dilakukan pada tahun 1916.Dalam konteks sosio-agama ini, Muhammadiyah merupakan gerakan pemurnian yang menginginkan pembersihan Islam dari semua sinkretisme dan praktik ibadah yang terlebih tanpa dasar akaran Islam (Takhayul, Bid’ah, Khurafat).
3. Realitas sosio-Pendidikan di Indonesia
Ahmad dahlan mengetahui bahwa pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua yaitu pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran agama dan pendidikan Barat yang sekuler. Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan yang mendapat pendidikan agama dengan golongan yang mendapatkan pendidikan sekuler. Kesenjangan ini termanifestasi dalam bentuk berbusana, berbicara, hidup dan berpikir. Ahmad Dahlan mengkaji secara mendalam dua sistem pendidikan yang sangat kontras ini.
Dualisme sistem pendidikan diatas membuat prihatin Ahmad Dahlan, oleh karena itu cita-cita pendidikan Ahmad Dahlan ialah melahirkan manusia yang berpandangan luas dan memiliki pengetahuan umum, sekaligus yang bersedia untuk kemajuan masyarakatnya. Cita-cita ini dilakukan dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan kurikulum yang menggabungkan antara Imtak dan Iptek.
4.
Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan
TUGAS HUKUM ACAR PIDANA
Nama : Siti Nafiah
NIM : 07120015
Jurusan: : Syariah Twining program
Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan
1. Penyelidikan merupakan tindakan dari kepolisian dalam menentukan ada atau tidaknya unsur pidana dari suatu kejadian, sebab tidak semua kejadian yang dilaporkan mengandung unsur pidana. Sedangkan penyidikan ialah untuk membuat terang dari suatu kasus tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti yang sah.baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli,surat dan lain-lain.
2. Penyelidikan objeknya adalah suatu peristiwa yang masih diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan objeknya adalah suatu peristiwa yang memeng telah terbukti ada unsur pidananya melalui proses penyelidikan
3. Penyelidikan bertujuan untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut berupa penyidikan, sedangkan penyidikan bertujuan untuk mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi agar tindak pidananya menjadi jelas dan sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya
4. Penyelidikan merupakan subfungsi dan bagian tak terpisahkan dari penyidikan, karena penyelidikan merupakan kegiatan yang mendahului tindakan upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan (misalnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dll)
5. Setiap penyidik selain memiliki kewenangan melakukan penyidikan dengan sendirinya berwenang pula melakukan penyelidikan, sedangkan seorang penyelidik kewenangannya hanya terbatas pada penyelidikan
6. Dari segi pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik; Penyelidik wewenangnya sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Sedangka penyidik: di samping polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan.
Nama : Siti Nafi’ah
NIM : 07120015
Jurusan : Syari’ah (Twining Program)
Berdasarkan pasal 49 ayat (1) KUHP, Pembelaan darurat ialah tindak pidana yang terpaksa dikerjakan seseorang untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, atau mempertahankan peri kesopanan atau harta benda kepunyaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan melawan hak dan mengancam pada ketika itu juga. Jika kita amati pembunuhan yang dilakukan oleh wibowo terhadap si broden, dan ditambah bukti permulaan yang telah ditemukan penyidik, maka jelas pembunuhan tersebut memenuhi unsur pembelaan diri/pembelaan darurat sesuai dengan rumusan pasal 49 ayat (1) diatas. Namun demikian penerbitan SKKP oleh penyidik dengan alasan bahwa wibowo melakukan pembelaan diri/pembelaan darurat tidak tepat menurut hukum, hal ini berdasar pasal 109 ayat (2) yang menyatakan penghentian penyidikan dapat dilakukan apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum yaitu jika peristiwa pidana tersebut tergolong sebagai perkara ne bis in idem (pasal 76 KUHP) atau tersangkanya meninggal dunia (pasal 77 KUHP) atau peristiwa pidana tersebut telah gugur karena kadaluarsa (pasal 78 KUHP). Sedangkan pembelaan darurat tidak termasuk alasan penyidik untuk menghentikan penyidikan, jadi penyidik tidak dapat menghentikan penyidikan dengan alasan pembelaan darurat. Dalam hal itu juga, walaupun penyidik telah mengetahui dengan bukti permulaan yang ada bahwa yang dilakukan Wibowo ialah pembelaan darurat, akan tetapi penyidik tidak mempunayai wewenang untuk menilai dan memutusakn apakah itu pembelaan darurat atau bukan, melainkan merupakan kewenangan hakim di sidang pengadilan yang akan menilai apakah pembelaan yang dilakukan oleh wibowo seimbang dengan tingkat ancaman yang diterima? Apakah tidak ada jalan lain bagi wibowo untuk menghindari ancaman tersebut? (penjelasan pasal 49 ayat (1) KUHP). Bersalah tidaknya wibowo harus dibuktikan secara materiil di sidang pengadilan berdasarkan saksi-saksi dan alat bukti yang ada, demikian juga perlu dibuktikan apakah upaya pembelaan wibowo untuk menghindari ancaman dengan melakukan penusukan dengan sangkur ke perut yang berakibat si broden meninggal dunia merupakan upaya untuk menghindari ancaman. Jadi, tindakan PN/PT yang memutuskan/menetapkan SKPP sebagai “Penghentian Penyidikan yang tidak sah” sudah tepat menurut hukum yang berarti penyidik harus membuka kembali SKPP dan dan menuntaskan penyidikannya untuk diserahkan kepada JPU guna dilimpahkan ke PN.
Nama : Siti Nafiah
NIM : 07120015
Jurusan: : Syariah Twining program
Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan
1. Penyelidikan merupakan tindakan dari kepolisian dalam menentukan ada atau tidaknya unsur pidana dari suatu kejadian, sebab tidak semua kejadian yang dilaporkan mengandung unsur pidana. Sedangkan penyidikan ialah untuk membuat terang dari suatu kasus tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti yang sah.baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan saksi ahli,surat dan lain-lain.
2. Penyelidikan objeknya adalah suatu peristiwa yang masih diduga sebagai tindak pidana, sedangkan penyidikan objeknya adalah suatu peristiwa yang memeng telah terbukti ada unsur pidananya melalui proses penyelidikan
3. Penyelidikan bertujuan untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut berupa penyidikan, sedangkan penyidikan bertujuan untuk mengupayakan pembuktian tentang tindak pidana yang terjadi agar tindak pidananya menjadi jelas dan sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya
4. Penyelidikan merupakan subfungsi dan bagian tak terpisahkan dari penyidikan, karena penyelidikan merupakan kegiatan yang mendahului tindakan upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan (misalnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dll)
5. Setiap penyidik selain memiliki kewenangan melakukan penyidikan dengan sendirinya berwenang pula melakukan penyelidikan, sedangkan seorang penyelidik kewenangannya hanya terbatas pada penyelidikan
6. Dari segi pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik; Penyelidik wewenangnya sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Sedangka penyidik: di samping polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang bersangkutan untuk melakukan penyidikan.
Nama : Siti Nafi’ah
NIM : 07120015
Jurusan : Syari’ah (Twining Program)
Berdasarkan pasal 49 ayat (1) KUHP, Pembelaan darurat ialah tindak pidana yang terpaksa dikerjakan seseorang untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, atau mempertahankan peri kesopanan atau harta benda kepunyaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan melawan hak dan mengancam pada ketika itu juga. Jika kita amati pembunuhan yang dilakukan oleh wibowo terhadap si broden, dan ditambah bukti permulaan yang telah ditemukan penyidik, maka jelas pembunuhan tersebut memenuhi unsur pembelaan diri/pembelaan darurat sesuai dengan rumusan pasal 49 ayat (1) diatas. Namun demikian penerbitan SKKP oleh penyidik dengan alasan bahwa wibowo melakukan pembelaan diri/pembelaan darurat tidak tepat menurut hukum, hal ini berdasar pasal 109 ayat (2) yang menyatakan penghentian penyidikan dapat dilakukan apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum yaitu jika peristiwa pidana tersebut tergolong sebagai perkara ne bis in idem (pasal 76 KUHP) atau tersangkanya meninggal dunia (pasal 77 KUHP) atau peristiwa pidana tersebut telah gugur karena kadaluarsa (pasal 78 KUHP). Sedangkan pembelaan darurat tidak termasuk alasan penyidik untuk menghentikan penyidikan, jadi penyidik tidak dapat menghentikan penyidikan dengan alasan pembelaan darurat. Dalam hal itu juga, walaupun penyidik telah mengetahui dengan bukti permulaan yang ada bahwa yang dilakukan Wibowo ialah pembelaan darurat, akan tetapi penyidik tidak mempunayai wewenang untuk menilai dan memutusakn apakah itu pembelaan darurat atau bukan, melainkan merupakan kewenangan hakim di sidang pengadilan yang akan menilai apakah pembelaan yang dilakukan oleh wibowo seimbang dengan tingkat ancaman yang diterima? Apakah tidak ada jalan lain bagi wibowo untuk menghindari ancaman tersebut? (penjelasan pasal 49 ayat (1) KUHP). Bersalah tidaknya wibowo harus dibuktikan secara materiil di sidang pengadilan berdasarkan saksi-saksi dan alat bukti yang ada, demikian juga perlu dibuktikan apakah upaya pembelaan wibowo untuk menghindari ancaman dengan melakukan penusukan dengan sangkur ke perut yang berakibat si broden meninggal dunia merupakan upaya untuk menghindari ancaman. Jadi, tindakan PN/PT yang memutuskan/menetapkan SKPP sebagai “Penghentian Penyidikan yang tidak sah” sudah tepat menurut hukum yang berarti penyidik harus membuka kembali SKPP dan dan menuntaskan penyidikannya untuk diserahkan kepada JPU guna dilimpahkan ke PN.
REKAYASA GENETIKA
REKAYASA GENETIKA
Oleh : Siti Nafiah
Rekayasa Genetika dan Reproduksi Manusia
Dewasa ini telah dikembangkan teknologi DNA rekombinan, atau yang lebih populer dikenal dengan rekayasa genetika. Teknologi ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai cloning gen. Proses yang dilakukan adalah dengan memindahkan inti sel somatik yang mengandung DNA dan komponen genetik lengkapnya ke sel ovum yang telah diambil seluruh inti selnya, atau ‘embryo splitting’ untuk manghasilkan manusia. Kendati hingga kini cloning reproduksi manusia belum terjadi, namun para pakar bidang terkait yakin bahwa keberhasilan cloning hewan merupakan pendahuluan bagi keber¬hasilan cloning manusia, dimungkinkan dilakukan pada manusia.
Cloning merupakan salah satu bentuk reproduksi yang sudah dikenal. Dewasa ini telah banyak produk teknologi reproduksi dikembangkan para ahli. Di antaranya adalah inseminasi buatan, bayi tabung, TAGIT (Tandur Alih Gamet Intra Tuba), perlakuan hormonal, donor sel telur dan sel sperma, kultur telur dan embrio, pembekuan sperma dan embrio, GIFT (gamet intrafallopian transfer), ZIFT (zigot intrafallopian transfer), Fertilisasi In Vitro (in vitro fertilization), partenogenesis, dan cloning.
Menurut ahli kedokteran, bagi pasangan suami-isteri yang berkeinginan memiliki keturunan namun tidak dapat dilakukan melalui cara reproduksi seksual (sexual reproduction) yang disebabkan adanya gangguan pada pihak isteri dan/ atau suami, maka dapat dilakukan dengan cara reproduksi aseksual, menggunakan pilihan teknologi reproduksi pada manusia tersebut.
Cloning: Pengertian dan Jenis-jenisnya
Setelah sukses dengan teknologi inseminasi buatan yang kemudian dikem-bangkan melalui teknik bayi tabung, para pakar kedokteran telah melakukan sebuah lompatan teknologi dengan ditemukannya metode cloning. Istilah 'cloning' berasal dari kata ‘klon’ (Yunani) yang berarti potongan/pangkasan tanaman, dalam bahasa Inggris disebut Clone yang berarti duplikasi, penggandaan, membuat objek yang sama persis. Dalam konteks sains, cloning didefinisikan sebagai sebuah rekayasa genetika dengan cara pembelahan dan pencangkokan sel dewasa di laboratorium dan bila telah berhasil kemudian dibiakkan dalam rahim organisme. Dalam bahasa Arab disebut al-Instinsākh. Ada yang meng-Indonesiakan kata clonus yang di-Inggriskan menjadi cloning, clonage. (Perancis) menjadi Klonasi
Para ahli telah membuktikan keberhasilan cloning pada tanaman dan hewan, menurut berbagai laporan, hal tersebut sudah lama dipraktikkan. Teknologi pada hewan mulai mencuat pada awal Maret 1997, ketika Ian Wilmut dari Roslin Institute (Skotlandia) berhasil meng-cloning sel kambing dewasa sehingga lahirlah Dolly (Februari 1997), dan dari laboratorium yang sama kemudian dilahirkan domba lain yang diberi nama Polly (Juli 1997). Dilihat dari tujuannya, cloning pada tanaman dan hewan adalah untuk memperbaiki kualitas tanaman dan hewan, meningkatkan produktivitas, dan mencari obat alami bagi penyakit-penyakit kronis, menggantikan obat-obatan kimiawi yang dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan manusia.
Hingga kini belum ada laporan resmi tentang keberhasilan mengclon individu manusia, sebabnya, antara lain karena terhambat adanya batasan boleh dan tidaknya menurut etika, agama, dan norma yang lain, tetapi secara teoritis mungkin dapat dilakukan, namun demikian hasilnya jika benar-benar dilakukan apakah seperti yang dikehendaki, masih menjadi tanda tanya. Sungguhpun dari sisi teknologi diakui sulit dan memerlukan dana besar untuk mewujudkannya, sejak tahun 1998 sejumlah eksperimen mengklon manusia telah dilakukan oleh dokter-dokter di berbagai negara, bahkan banyak kalangan yang mengklaim diri telah berhasil melakukannya, bayi hasil cloning siap dan bahkan telah lahir. Namun, kebenaran isu tersebut belum dapat dibuktikan, yang dinyatakan justru kegagalannya. Pada umumnya para ilmuwan menanggapi berita itu hanyalah sebuah sensasi, sebagai isapan jempol belaka. Bahkan, Harry Griffin, ketua Lembaga Skotlandia Roslin yang telah berhasil melahirkan domba cloning pertama, Dolly pada tahun 1997, mengomentari bahwa berita bayi cloning ini hanyalah trik publisitas saja.
Dari segi teknis dan manfaatnya, cloning dibedakan atas tiga jenis, cloning embrio, cloning biomedik (terapetik), dan cloning reproduksi. Cloning embrio betujuan membuat kembar dua, tiga, dan seterusnya dari sebuah zigot. Cloning biomedik (terapetik) bertujuan untuk keperluan penelitian pengobatan penyakit yang hingga kini sulit disembuhkan, seperti Alzheimer, parkinson, DM (Diabetes Mellitus), Infrak Jantung, Kanker darah, stroke, dan sebagainya.
Tujuan dilakukannya cloning reproduksi adalah untuk mendapatkan anak klon dari orang yang diklon, memproduksi sejumlah individu yang secara genetik identik. Metodenya, dapat dilakukan melalui proses seksual dengan fertilisasi in vitro dan aseksual dengan menggunakan sel somatis sebagai sumber gen. Pada cloning seksual, secara teknis langkah awal yang dilakukan adalah fertilisasi in vitro. Setelah embrio terbentuk dan berkembang mencapai empat sampai delapan sel segera dilakukan splitting (pemotongan dengan teknik mikromanipulasi) menjadi dua atau empat bagian. Bagian-bagian embrio ini dapat ditumbuhkan kembali dalam inkubator hingga berkembang menjadi embrio normal yang memiliki genetik sama. Setelah mencapai fase blastosis, embrio tersebut ditransfer kembali ke dalam rahim ibu sampai umur sembilan bulan. Berbeda dengan cloning seksual, pada cloning aseksual fertilisasi tidak dilakukan menggunakan sperma, melainkan hanya sebuah sel telur terfertilisasi semu yang dikeluarkan pronukleusnya dan sel somatis. Karenanya, bila pada cloning seksual genetik anak berasal dari kedua orang tuanya, maka pada cloning aseksual genetik anak sama dengan genetik penyumbang sel somatis.
Kloning Manusia Dalam Perspektif Islam
Apabila kita mencermati, awal sampai akhir proses kloning, tentu hal ini akan menimbulkan problem yang sangat besar ketika kloning diterapkan pada manusia,walaupun di sisi lain juga ada beberapa manfaat. Seperti yang kita ketahui manusia sebagai makhluk biologis maka laki-laki memerlukan perempuan ataupun sebaliknya. Disamping itu proses perkembangan manusia pertama-tama diatur perkawinan yang sah menurut Islam. Dan perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri
berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku seperti firman Allah dalam al-Qur’an.
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT .(Adz-Dzariat: 49)
Menikah mempunyai dua aspek, pertama yaitu aspek biologis agar manusia berketurunan dan yang kedua aspek afeksional agar manusia merasa tenang mampu melayani adalah bagi mereka yang benar terang hatiya dan cemerlang fikirannya. Dan bila seorang ingin mendapatkan keturunan, maka ia harus kawin dan menikah lebih dahulu. Dan mengenai perkawinan itu sendiri dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an.
Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayanya yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi mahamengetahui (An-nur: 32)
Dalam kehidupan ini seseorang dapat memperoleh keturunan dari hubungan laki-laki dan perempuan yang telah diatur oleh hukum Allah yaitu adanya akad perkawinan yang mana di harapkan dapat menghasilkan keturunan yang baik dan mempunyai nasab dan diterima secara baik di masyarakat. Namun akan berbeda ketika kloning manusia benar-benar di lakukan. Kita tidak akan lagi mengenal hubungan semacam itu karena seseorang dapat memiliki anak sesuai dengan keinginannya tanpa melakukan hubungan dengan seorang laki-laki. Dalam Islam kloning dapat menimbulkan akibat yang fatal apabila hal ini dilakukan terhadap manusia yaitu mulai dari perkawinan, nasab dan pembagian warisan dan tentu hal ini akan keluar dari jalur Islam. Misalnya seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang keduanya masing-masing mempunyai kekembaran identik, tentu hal ini akan dapat membuat bingung mereka semuanya, dan bila hal ini sudah terjadi ditengah masyarakat, pasti orang akan mengalami kesulitan mengenali apakah orang itu bersama-sama dengan isterinya atau dengan kembaranya atau dengan sebaliknya tidaklah mustahil apabila semisal masalah ini benar-benar terjadi, dekadensi moral dan kehancuran dunia akan terwujud selain itu sederetan masalah kewarisan, perwalian, dan lain-lainnya akan menunggu di depan. Seperti dalam bahasa kaidah fiqh dinyatakan:
“Menghindari madhlarat (bahaya) harus di dahulukan atas mencari kebaikan atau maslahah”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perkara yang terlihat adanya manfaat atau maslahah, namun disana juga terdapat kemafsadat- an (kerusakan) haruslah didahulukan menghilangkan mafsadah-nya. Sebab ke-mafsadahanya dapat meluas dan menjalar kemana-mana sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Kaidah fiqhiyah itu dapat kita kembalikan pada firman Allah SWT:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi, katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat yang sedikit bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.(Al-Baqarah: 219)
Demikian disyariatkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah. Sedangkan dalam meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah. Dalam hal penciptaan manusia adalah melalui beberapa tahapan. Sebagaimana firman Allah dalam Alqur’an Surah al-Hajj yang berbunyi:
Kami telah menjadikan kamu dari tanah,kemudian dari setetes mani,kemudian dari segumpal darah,kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,agar kami jelaskan kepda kamu dan kami tetapkan dalam rahim,apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan……..(Al-Hajj:5)
Dari kutipan ayat diatas, tampak kiranya bahwa paradigma al-Qur’an mengenai penciptaan manusia dan terlihat pencegahan terhadap tindakan-tindakan manusia yang mengarah terhadap kloning.Mulai dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan dari Tuhan.Segala bentuk peniruan atas tindakanNya dianggap sebagai perbuatan melampaui batas. Oleh karenanya untuk menyikapi berbagai macam masalah
mengenai kloning manusia, bisa memakai pertimbangan, sebagai berikut:
Pertimbangan Teologi
Dalam hal ini al-Qur’an megisyaratkan adanya intervensi manusia didalam proses produksi manusia.Sebagaimana termaktub dalam firmanNya Q.S.al-Mukminun ayat 13-14 yang berbunyi:
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)dalam tempat yang kokoh (rahim) Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging,dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang,lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging.Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain.Maka maha sucilah Allah,Pencipta yang paling baik.(Al-Mukminun: 13-14)
Ayat ini mengisyaratkan unsur manusia ada tiga yaitu; unsure jasad (jasadiyah), unsur nyawa (nafs), dan Unsur ruh (ruh). Adapun dalam pertimbangan ini manusia mengetahui proses terjadinya manusia,oleh karenanya untuk mengetahui keafsahan kloning dalam Islam harus dikaitkan dengan dua pertimbangan selanjutnya, yaitu pertimbangan moral dan hukum.
Pertimbangan Moral
Dari sudut pertimbangan moral bahwa berbagai macam riset atau penelitian hendaknya selalu dikaitkan dengan Tuhan, karena riset dengan tujuan apapun tanpa dikaitkan dengan Tuhan tentu akan menimbulkan resiko, meskipun manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah, namun dalam mengekpresikan dan mengaktualisasikan kebesaran kreatifitasnya tersebut seyogyanya tetap mengacu pada pertimbangan moral dalam agama.
Pertimbangan Hukum
Dari beragam pertimbangan mungkin pertimbangan hukum inilah yang secara tegas memberikan putusan, khususnya dari para ulama’ fiqh yang akan menolak mengenai praktek kloning manusia selain memakai dua landasan pertimbangan di atas. Larangan ini muncul karena alasan adanya kekhawatiran tingginya frekuensi mutasi pada gen produk kloning sehingga akan menimbulkan efek buruk pada kemudian hari dari segi pembiayaan yang sangat mahal dan juga dari sudut pandang ushul fiqh bahwa jika sesuatu itu lebih banyak madharat-nya dari pada manfaatnya maka sesuatu itu perlu ditolak. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat ulama tentang kloning manusia diantaranya; Muhammad Quraish Shihab mengatakan, tidak pernah memisahkan ketetapan-ketetapan hukumnya dari moral sehingga dalam kasus kloning walaupun dalam segi aqidah tidak melanggar wilayah qodrat Illahi, namun karena dari moral teknologi kloning dapat mengantar kepada perpecahan manusia karena larangan lahir dari aspek ini. Munawar Ahmad Anas mengatakan bahwa paradigma al-Qur’an menolak kloning seluruh siklus kehidupan mulai dari kehidupan hingga kematian, adalah tindakan Illahiyah. Manusia adalah agen yang diberi amanah oleh Tuhan, karena itu penggandaan manusia semata-mata tak di perlukan (suatu tindakan yang mubadzir). Sedang Abdul Aziz Sachedia, salah seorang tokoh agama Islam Amerika Serikat mengatakan bahwa “teknologi kloning hanya akan meruntuhkan institusi perkawinan”
Bayi tabung dan inseminasi buatan, jika batas-batas diperkenankannya, seperti asal pemilik ovum, sperma, dan rahim terpenuhi, tanpa melibatkan pihak ketiga (donor atau sewa rahim), dilaksanakan ketika suami-isteri tersebut masih terikat pernikahan dan dilakukan dalam keadaan terpaksa, jika tidak dilakukan bisa mengancam keutuhan rumah tangga mereka, maka hukumnya boleh.
Hukum cloning, dilihat dari teknis dan dampaknya dapat dipersamakan dengan inseminasi buatan atau bayi tabung, Dari dampak teringan tingkat kerancuannya pada praktik inseminasi buatan dan bayi tabung adalah praktik penitipan zigot yang berasal dari pasangan poligamis di rahim isterinya yang lain hukumnya haram, apalagi cloning manusia yang lebih merancukan hubungan nasab dan kekeluargaan. Kerancuan nasab yang ditimbulkan dari cloning reproduksi manusia yang teringan, meskipun sel tubuh diambil dari suaminya, tetap menghadirkan persoalan rumit, yaitu menyangkut status anaknya kelak, sebagai anak kandung pasangan suami-isteri tersebut atau 'kembaran terlambat' dari suaminya, atau dia tidak berayah, mengingat sifat genetiknya 100 % sama dengan suaminya. Jika demikian, maka anak tersebut lebih tepat disebut sebagai kembaran dari pemberi sel. Jika sebagai kembaran atau duplikat terlambat suaminya, bagaimana hubungannya dengan wanita itu dan keturunannya serta anggota keluarganya yang lain. Apalagi jika cloning diambil dari pasangan yang tidak terikat pernikahan yang sah, atau anak klon yang berasal dari sel telur seorang wanita dengan sel dewasa wanita itu sendiri atau dengan wanita lain, maka tingkat kerancuannya lebih rumit. Tidak berasal dari mani (sperma). Di samping itu, yang masih diperdebatkan mengenai usia anak klon, dugaan terkuat menyatakan akan sama dengan usia dari pemberi sel.
Analisis atas Dampak Cloning Reproduksi Manusia
Meski cloning reproduksi manusia ada manfaatnya bagi manusia, misalnya dapat membantu pasangan yang bermasalah dengan alat reproduksinya, namun karena dalam pelaksanaannya akan berbenturan dengan batasan-batasan syar’i, maka hukumnya haram. Dari sejumlah argumen haramnya melakukan cloning reproduksi manusia yang dikemukakan di atas, yang paling lemah karena menilainya sebagai bentuk intervensi atas ciptaan Allah. Adapun alasan kuat haramnya tindakan tersebut dilihat dari sumber pemilik sel dari siapa pun akan berakibat merancukan nasab.
Dampak teknologi cloning reproduksi manusia akan merancukan nasab dan hal lain yang lebih luas, berbenturan dengan banyak ketentuan syar'i, bahkan nyaris tidak ada kemaslahatannya, jika ada sangat sedikit dan masih bersifat spekulatif. Prinsip ini bertentangan dengan kaidah fikih:
“Rukhshat tidak dapat dikaitkan pada yang meragukan), juga tidak dapat dikaitkan dengan berbagai kemaksiatan.
Dilihat dari dampaknya, cloning reproduksi manusia lebih merancukan nasab, menyangkut status hubungan kenasaban dengan pemilik ovum, rahim, sperma, atau sel. Status anak dengan pemilik ovum, berstatus sebagai anak atau saudara kembar? Sebaliknya, jika yang diklon adalah pihak perempuan, pemilik ovum itu sendiri atau orang lain, lebih sulit menentukan statusnya. Demikian pula terhadap pemilik sperma, atau sel, sebagai anak atau saudara kembar.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, hukum cloning terhadap manusia haram, tetapi alasan pengharaman cloning reproduksi manusia bukan terletak pada proses atau teknologinya, bukan pada teknis pelaksanaannya di luar proses alamiah dan tradisional, tetapi pada mudarat yang ditimbulkannya, akan merancukan dan menafikan berbagai pranata sosial, etika, dan moral, juga akan merendahkan nilai dan martabat insani serta berakibat fatal terhadap perkawinan, nasab dan bembagian warisan. Teknologi rekayasa genetika (cloning) yang dapat ditolerir dan bahkan didukung hanya pada tujuan produktivitas tanaman, tumbuhan dan hewan. Demikian juga untuk menemukan obat-obatan tertentu yang sangat diperlukan dalam dunia pengobatan.
Oleh : Siti Nafiah
Rekayasa Genetika dan Reproduksi Manusia
Dewasa ini telah dikembangkan teknologi DNA rekombinan, atau yang lebih populer dikenal dengan rekayasa genetika. Teknologi ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai cloning gen. Proses yang dilakukan adalah dengan memindahkan inti sel somatik yang mengandung DNA dan komponen genetik lengkapnya ke sel ovum yang telah diambil seluruh inti selnya, atau ‘embryo splitting’ untuk manghasilkan manusia. Kendati hingga kini cloning reproduksi manusia belum terjadi, namun para pakar bidang terkait yakin bahwa keberhasilan cloning hewan merupakan pendahuluan bagi keber¬hasilan cloning manusia, dimungkinkan dilakukan pada manusia.
Cloning merupakan salah satu bentuk reproduksi yang sudah dikenal. Dewasa ini telah banyak produk teknologi reproduksi dikembangkan para ahli. Di antaranya adalah inseminasi buatan, bayi tabung, TAGIT (Tandur Alih Gamet Intra Tuba), perlakuan hormonal, donor sel telur dan sel sperma, kultur telur dan embrio, pembekuan sperma dan embrio, GIFT (gamet intrafallopian transfer), ZIFT (zigot intrafallopian transfer), Fertilisasi In Vitro (in vitro fertilization), partenogenesis, dan cloning.
Menurut ahli kedokteran, bagi pasangan suami-isteri yang berkeinginan memiliki keturunan namun tidak dapat dilakukan melalui cara reproduksi seksual (sexual reproduction) yang disebabkan adanya gangguan pada pihak isteri dan/ atau suami, maka dapat dilakukan dengan cara reproduksi aseksual, menggunakan pilihan teknologi reproduksi pada manusia tersebut.
Cloning: Pengertian dan Jenis-jenisnya
Setelah sukses dengan teknologi inseminasi buatan yang kemudian dikem-bangkan melalui teknik bayi tabung, para pakar kedokteran telah melakukan sebuah lompatan teknologi dengan ditemukannya metode cloning. Istilah 'cloning' berasal dari kata ‘klon’ (Yunani) yang berarti potongan/pangkasan tanaman, dalam bahasa Inggris disebut Clone yang berarti duplikasi, penggandaan, membuat objek yang sama persis. Dalam konteks sains, cloning didefinisikan sebagai sebuah rekayasa genetika dengan cara pembelahan dan pencangkokan sel dewasa di laboratorium dan bila telah berhasil kemudian dibiakkan dalam rahim organisme. Dalam bahasa Arab disebut al-Instinsākh. Ada yang meng-Indonesiakan kata clonus yang di-Inggriskan menjadi cloning, clonage. (Perancis) menjadi Klonasi
Para ahli telah membuktikan keberhasilan cloning pada tanaman dan hewan, menurut berbagai laporan, hal tersebut sudah lama dipraktikkan. Teknologi pada hewan mulai mencuat pada awal Maret 1997, ketika Ian Wilmut dari Roslin Institute (Skotlandia) berhasil meng-cloning sel kambing dewasa sehingga lahirlah Dolly (Februari 1997), dan dari laboratorium yang sama kemudian dilahirkan domba lain yang diberi nama Polly (Juli 1997). Dilihat dari tujuannya, cloning pada tanaman dan hewan adalah untuk memperbaiki kualitas tanaman dan hewan, meningkatkan produktivitas, dan mencari obat alami bagi penyakit-penyakit kronis, menggantikan obat-obatan kimiawi yang dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan manusia.
Hingga kini belum ada laporan resmi tentang keberhasilan mengclon individu manusia, sebabnya, antara lain karena terhambat adanya batasan boleh dan tidaknya menurut etika, agama, dan norma yang lain, tetapi secara teoritis mungkin dapat dilakukan, namun demikian hasilnya jika benar-benar dilakukan apakah seperti yang dikehendaki, masih menjadi tanda tanya. Sungguhpun dari sisi teknologi diakui sulit dan memerlukan dana besar untuk mewujudkannya, sejak tahun 1998 sejumlah eksperimen mengklon manusia telah dilakukan oleh dokter-dokter di berbagai negara, bahkan banyak kalangan yang mengklaim diri telah berhasil melakukannya, bayi hasil cloning siap dan bahkan telah lahir. Namun, kebenaran isu tersebut belum dapat dibuktikan, yang dinyatakan justru kegagalannya. Pada umumnya para ilmuwan menanggapi berita itu hanyalah sebuah sensasi, sebagai isapan jempol belaka. Bahkan, Harry Griffin, ketua Lembaga Skotlandia Roslin yang telah berhasil melahirkan domba cloning pertama, Dolly pada tahun 1997, mengomentari bahwa berita bayi cloning ini hanyalah trik publisitas saja.
Dari segi teknis dan manfaatnya, cloning dibedakan atas tiga jenis, cloning embrio, cloning biomedik (terapetik), dan cloning reproduksi. Cloning embrio betujuan membuat kembar dua, tiga, dan seterusnya dari sebuah zigot. Cloning biomedik (terapetik) bertujuan untuk keperluan penelitian pengobatan penyakit yang hingga kini sulit disembuhkan, seperti Alzheimer, parkinson, DM (Diabetes Mellitus), Infrak Jantung, Kanker darah, stroke, dan sebagainya.
Tujuan dilakukannya cloning reproduksi adalah untuk mendapatkan anak klon dari orang yang diklon, memproduksi sejumlah individu yang secara genetik identik. Metodenya, dapat dilakukan melalui proses seksual dengan fertilisasi in vitro dan aseksual dengan menggunakan sel somatis sebagai sumber gen. Pada cloning seksual, secara teknis langkah awal yang dilakukan adalah fertilisasi in vitro. Setelah embrio terbentuk dan berkembang mencapai empat sampai delapan sel segera dilakukan splitting (pemotongan dengan teknik mikromanipulasi) menjadi dua atau empat bagian. Bagian-bagian embrio ini dapat ditumbuhkan kembali dalam inkubator hingga berkembang menjadi embrio normal yang memiliki genetik sama. Setelah mencapai fase blastosis, embrio tersebut ditransfer kembali ke dalam rahim ibu sampai umur sembilan bulan. Berbeda dengan cloning seksual, pada cloning aseksual fertilisasi tidak dilakukan menggunakan sperma, melainkan hanya sebuah sel telur terfertilisasi semu yang dikeluarkan pronukleusnya dan sel somatis. Karenanya, bila pada cloning seksual genetik anak berasal dari kedua orang tuanya, maka pada cloning aseksual genetik anak sama dengan genetik penyumbang sel somatis.
Kloning Manusia Dalam Perspektif Islam
Apabila kita mencermati, awal sampai akhir proses kloning, tentu hal ini akan menimbulkan problem yang sangat besar ketika kloning diterapkan pada manusia,walaupun di sisi lain juga ada beberapa manfaat. Seperti yang kita ketahui manusia sebagai makhluk biologis maka laki-laki memerlukan perempuan ataupun sebaliknya. Disamping itu proses perkembangan manusia pertama-tama diatur perkawinan yang sah menurut Islam. Dan perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri
berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku seperti firman Allah dalam al-Qur’an.
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT .(Adz-Dzariat: 49)
Menikah mempunyai dua aspek, pertama yaitu aspek biologis agar manusia berketurunan dan yang kedua aspek afeksional agar manusia merasa tenang mampu melayani adalah bagi mereka yang benar terang hatiya dan cemerlang fikirannya. Dan bila seorang ingin mendapatkan keturunan, maka ia harus kawin dan menikah lebih dahulu. Dan mengenai perkawinan itu sendiri dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an.
Dan kawinilah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayanya yang lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi mahamengetahui (An-nur: 32)
Dalam kehidupan ini seseorang dapat memperoleh keturunan dari hubungan laki-laki dan perempuan yang telah diatur oleh hukum Allah yaitu adanya akad perkawinan yang mana di harapkan dapat menghasilkan keturunan yang baik dan mempunyai nasab dan diterima secara baik di masyarakat. Namun akan berbeda ketika kloning manusia benar-benar di lakukan. Kita tidak akan lagi mengenal hubungan semacam itu karena seseorang dapat memiliki anak sesuai dengan keinginannya tanpa melakukan hubungan dengan seorang laki-laki. Dalam Islam kloning dapat menimbulkan akibat yang fatal apabila hal ini dilakukan terhadap manusia yaitu mulai dari perkawinan, nasab dan pembagian warisan dan tentu hal ini akan keluar dari jalur Islam. Misalnya seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang keduanya masing-masing mempunyai kekembaran identik, tentu hal ini akan dapat membuat bingung mereka semuanya, dan bila hal ini sudah terjadi ditengah masyarakat, pasti orang akan mengalami kesulitan mengenali apakah orang itu bersama-sama dengan isterinya atau dengan kembaranya atau dengan sebaliknya tidaklah mustahil apabila semisal masalah ini benar-benar terjadi, dekadensi moral dan kehancuran dunia akan terwujud selain itu sederetan masalah kewarisan, perwalian, dan lain-lainnya akan menunggu di depan. Seperti dalam bahasa kaidah fiqh dinyatakan:
“Menghindari madhlarat (bahaya) harus di dahulukan atas mencari kebaikan atau maslahah”.
Kaidah ini menjelaskan bahwa suatu perkara yang terlihat adanya manfaat atau maslahah, namun disana juga terdapat kemafsadat- an (kerusakan) haruslah didahulukan menghilangkan mafsadah-nya. Sebab ke-mafsadahanya dapat meluas dan menjalar kemana-mana sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Kaidah fiqhiyah itu dapat kita kembalikan pada firman Allah SWT:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi, katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat yang sedikit bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.(Al-Baqarah: 219)
Demikian disyariatkan adanya kesanggupan dalam menjalankan perintah. Sedangkan dalam meninggalkan larangan itu adalah lebih kuat dari pada tuntutan menjalankan perintah. Dalam hal penciptaan manusia adalah melalui beberapa tahapan. Sebagaimana firman Allah dalam Alqur’an Surah al-Hajj yang berbunyi:
Kami telah menjadikan kamu dari tanah,kemudian dari setetes mani,kemudian dari segumpal darah,kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,agar kami jelaskan kepda kamu dan kami tetapkan dalam rahim,apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan……..(Al-Hajj:5)
Dari kutipan ayat diatas, tampak kiranya bahwa paradigma al-Qur’an mengenai penciptaan manusia dan terlihat pencegahan terhadap tindakan-tindakan manusia yang mengarah terhadap kloning.Mulai dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan dari Tuhan.Segala bentuk peniruan atas tindakanNya dianggap sebagai perbuatan melampaui batas. Oleh karenanya untuk menyikapi berbagai macam masalah
mengenai kloning manusia, bisa memakai pertimbangan, sebagai berikut:
Pertimbangan Teologi
Dalam hal ini al-Qur’an megisyaratkan adanya intervensi manusia didalam proses produksi manusia.Sebagaimana termaktub dalam firmanNya Q.S.al-Mukminun ayat 13-14 yang berbunyi:
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)dalam tempat yang kokoh (rahim) Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging,dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang,lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging.Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain.Maka maha sucilah Allah,Pencipta yang paling baik.(Al-Mukminun: 13-14)
Ayat ini mengisyaratkan unsur manusia ada tiga yaitu; unsure jasad (jasadiyah), unsur nyawa (nafs), dan Unsur ruh (ruh). Adapun dalam pertimbangan ini manusia mengetahui proses terjadinya manusia,oleh karenanya untuk mengetahui keafsahan kloning dalam Islam harus dikaitkan dengan dua pertimbangan selanjutnya, yaitu pertimbangan moral dan hukum.
Pertimbangan Moral
Dari sudut pertimbangan moral bahwa berbagai macam riset atau penelitian hendaknya selalu dikaitkan dengan Tuhan, karena riset dengan tujuan apapun tanpa dikaitkan dengan Tuhan tentu akan menimbulkan resiko, meskipun manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah, namun dalam mengekpresikan dan mengaktualisasikan kebesaran kreatifitasnya tersebut seyogyanya tetap mengacu pada pertimbangan moral dalam agama.
Pertimbangan Hukum
Dari beragam pertimbangan mungkin pertimbangan hukum inilah yang secara tegas memberikan putusan, khususnya dari para ulama’ fiqh yang akan menolak mengenai praktek kloning manusia selain memakai dua landasan pertimbangan di atas. Larangan ini muncul karena alasan adanya kekhawatiran tingginya frekuensi mutasi pada gen produk kloning sehingga akan menimbulkan efek buruk pada kemudian hari dari segi pembiayaan yang sangat mahal dan juga dari sudut pandang ushul fiqh bahwa jika sesuatu itu lebih banyak madharat-nya dari pada manfaatnya maka sesuatu itu perlu ditolak. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat ulama tentang kloning manusia diantaranya; Muhammad Quraish Shihab mengatakan, tidak pernah memisahkan ketetapan-ketetapan hukumnya dari moral sehingga dalam kasus kloning walaupun dalam segi aqidah tidak melanggar wilayah qodrat Illahi, namun karena dari moral teknologi kloning dapat mengantar kepada perpecahan manusia karena larangan lahir dari aspek ini. Munawar Ahmad Anas mengatakan bahwa paradigma al-Qur’an menolak kloning seluruh siklus kehidupan mulai dari kehidupan hingga kematian, adalah tindakan Illahiyah. Manusia adalah agen yang diberi amanah oleh Tuhan, karena itu penggandaan manusia semata-mata tak di perlukan (suatu tindakan yang mubadzir). Sedang Abdul Aziz Sachedia, salah seorang tokoh agama Islam Amerika Serikat mengatakan bahwa “teknologi kloning hanya akan meruntuhkan institusi perkawinan”
Bayi tabung dan inseminasi buatan, jika batas-batas diperkenankannya, seperti asal pemilik ovum, sperma, dan rahim terpenuhi, tanpa melibatkan pihak ketiga (donor atau sewa rahim), dilaksanakan ketika suami-isteri tersebut masih terikat pernikahan dan dilakukan dalam keadaan terpaksa, jika tidak dilakukan bisa mengancam keutuhan rumah tangga mereka, maka hukumnya boleh.
Hukum cloning, dilihat dari teknis dan dampaknya dapat dipersamakan dengan inseminasi buatan atau bayi tabung, Dari dampak teringan tingkat kerancuannya pada praktik inseminasi buatan dan bayi tabung adalah praktik penitipan zigot yang berasal dari pasangan poligamis di rahim isterinya yang lain hukumnya haram, apalagi cloning manusia yang lebih merancukan hubungan nasab dan kekeluargaan. Kerancuan nasab yang ditimbulkan dari cloning reproduksi manusia yang teringan, meskipun sel tubuh diambil dari suaminya, tetap menghadirkan persoalan rumit, yaitu menyangkut status anaknya kelak, sebagai anak kandung pasangan suami-isteri tersebut atau 'kembaran terlambat' dari suaminya, atau dia tidak berayah, mengingat sifat genetiknya 100 % sama dengan suaminya. Jika demikian, maka anak tersebut lebih tepat disebut sebagai kembaran dari pemberi sel. Jika sebagai kembaran atau duplikat terlambat suaminya, bagaimana hubungannya dengan wanita itu dan keturunannya serta anggota keluarganya yang lain. Apalagi jika cloning diambil dari pasangan yang tidak terikat pernikahan yang sah, atau anak klon yang berasal dari sel telur seorang wanita dengan sel dewasa wanita itu sendiri atau dengan wanita lain, maka tingkat kerancuannya lebih rumit. Tidak berasal dari mani (sperma). Di samping itu, yang masih diperdebatkan mengenai usia anak klon, dugaan terkuat menyatakan akan sama dengan usia dari pemberi sel.
Analisis atas Dampak Cloning Reproduksi Manusia
Meski cloning reproduksi manusia ada manfaatnya bagi manusia, misalnya dapat membantu pasangan yang bermasalah dengan alat reproduksinya, namun karena dalam pelaksanaannya akan berbenturan dengan batasan-batasan syar’i, maka hukumnya haram. Dari sejumlah argumen haramnya melakukan cloning reproduksi manusia yang dikemukakan di atas, yang paling lemah karena menilainya sebagai bentuk intervensi atas ciptaan Allah. Adapun alasan kuat haramnya tindakan tersebut dilihat dari sumber pemilik sel dari siapa pun akan berakibat merancukan nasab.
Dampak teknologi cloning reproduksi manusia akan merancukan nasab dan hal lain yang lebih luas, berbenturan dengan banyak ketentuan syar'i, bahkan nyaris tidak ada kemaslahatannya, jika ada sangat sedikit dan masih bersifat spekulatif. Prinsip ini bertentangan dengan kaidah fikih:
“Rukhshat tidak dapat dikaitkan pada yang meragukan), juga tidak dapat dikaitkan dengan berbagai kemaksiatan.
Dilihat dari dampaknya, cloning reproduksi manusia lebih merancukan nasab, menyangkut status hubungan kenasaban dengan pemilik ovum, rahim, sperma, atau sel. Status anak dengan pemilik ovum, berstatus sebagai anak atau saudara kembar? Sebaliknya, jika yang diklon adalah pihak perempuan, pemilik ovum itu sendiri atau orang lain, lebih sulit menentukan statusnya. Demikian pula terhadap pemilik sperma, atau sel, sebagai anak atau saudara kembar.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, hukum cloning terhadap manusia haram, tetapi alasan pengharaman cloning reproduksi manusia bukan terletak pada proses atau teknologinya, bukan pada teknis pelaksanaannya di luar proses alamiah dan tradisional, tetapi pada mudarat yang ditimbulkannya, akan merancukan dan menafikan berbagai pranata sosial, etika, dan moral, juga akan merendahkan nilai dan martabat insani serta berakibat fatal terhadap perkawinan, nasab dan bembagian warisan. Teknologi rekayasa genetika (cloning) yang dapat ditolerir dan bahkan didukung hanya pada tujuan produktivitas tanaman, tumbuhan dan hewan. Demikian juga untuk menemukan obat-obatan tertentu yang sangat diperlukan dalam dunia pengobatan.
Hukum Perkawinan Via Telepon
KUMPULAN MAKALAH FIQH MUNAKAHAT
OLEH:
Oleh :
Ghazali abbas bachanies (07120016)
Khoiriyah (07120023)
Siti nafi’ah (07120015)
Ari ferdinansyah (07120017)
JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009
HUKUN PERKAWINAN VIA TELEPON
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
Pernikahan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian dsini untuk memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinana serta penampakannya terhadap masyarakat ramani, sedangkan sebutan suci untuk pernyataan segi keagamaanya dari suatu perkawinan.
Dari pengertian diatas, kita bisa melihat betapa suci dan pentingnya suatu ikatan pernikahan. Semua orang berharap hanya melakukan satu kali pernikahan saja dalam seumur hidupnya, akan tetapi pada era modernisasi ini, banyak sekali kasus-kasus perceraian bermunculan yang mudah sekali kita lihat dari tayangan-tayangan televisi dan terutama di golongan entertainer dan banyak pula di masyarakat luas.
Selain bermunculan kasus perceraian, akhir-akhir ini juga muncul suatu pernikahan yang tidak sewajarnya terjadi dan tidak pernah ada di masa Rasul, sahabat maupun tabi’in, yaitu pernikahan melalui media komunikasi khususnya via telepon. Penyebab adanya pernikahan ini tidak lain adalah karena kebutuhan untuk menikah dibenturkan dengan gaya hidup modern dalam berbagai bidang yang menuntut efisisensi yang optimal dan domisili tempat tinggal dan bekerja yang sangant jauh antara calon mempelai.
Diskursus hukum tentang masalah ini bukanlah baru.Solusi hukum sudah bermunculan seiring dengan perkembangan media komunikasi itu sendiri. Berbagai fatwa hukum pun pernah diterbitkan dengan tentunya terdapat perbedaan di seputar itu. Maka dari itu penulis ingan membahas tentang permasalahan ini.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, terdapat beberapa hal yang berkaitan erat dengan permasalahan ini yang akan penulis bahas
1. Apa Pengertian,,syarat dan Rukun Pernikahan
2. Bagaimana kedudukan ijab qabul dalam akad nikah dan apa persyratannya
3. Bagaimana hukum penikahan via telepon
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Syarat dan Rukun Pernikahan
Untuk mengetahui bagimana hukum pernikahan via telepon, perlu kita ketahui terlebih dahulu tentang pengertian perkawinan, syarat dan rukunnya. Pengertian nikah menurut syari’at, Ibnu Qadamah berkata: “Nikah menurut syari’at adalah akad perkawinan. Ketikan kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian, selagi tidak ada satu dalilpun yang memalingkan darinya. Perkawinan juga harus dilihat dari tiga segi pandangan :
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu pejanjian. Oleh Q.IV : 21 (surat An-nisa : 21), menyatakan “……….perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”
Juga dapat dikemukakan sebagai alas an untuk untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya :
a. Cara mengaakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Segi social dari suatu perkawinan
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting.
Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacaa perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungka menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya denganmempergunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh Q.IV. : 1 surat Annisa ayat 1.
Adapun Syarat dan rukun pekawinann ialah :
a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
b. Harus ada dua orang saksi yang beragama Islam
c. Harus ada wali dari pengantin wanita
d. Kewajiban membayar mahar dari pihak pengantin laki-laki kepada pengantin wanita.
e. Harus ada pengucapan “Ijab dan qabul” antara kedua pengantin itu
f. Untuk memformulering secara resmiijab dan qabul maka diadakan walimah.
Yang perlu dipermasalahkan dalam kaitan dengan tulisan ini ialah tentang Ijab dan qabul.
B. Kedudukan Ijab Qabul dalam Akad Nikah dan Persyaratan Bersatu majlis Bagi Ijab Qabul
Manifestasi dari perasaan rela sama rela dan suka sama suka dalam akad nikah adalah ijab dan qabul, oleh karena itu ijab qabul adalah unsure mendasar bagi keabsahan akad nikah. Ijab berarti menyerahkan amanah Allah yaitu anak perempuan si wali kepada calon suami, dan qabul berarti sebagai lambing bagi kerelaan menerima amanah Allah. Dengan Ijab qabul menjadi halal sesuatu yang tadinya haram.
Syaikh Kamil Muhammad Syuwaidah menulis dalam bukunya bahwa disyaratkan menyatukan tempat ijab qabul. Begitu juga Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya menukil Al-fiqh ‘ala Mazahib al-arba’ah menukil kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu majlelis bagi ijab qabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan qabulnya, akad nikah dianggap tidak sah.
Dalam hal perkawinan melalui telepon, ijab qabul tidak dilaksanakan dalam satu majelis, berarti perkawinan melalui telepon tidak sah. Akan tetapi berikut akan dibahas lebih jauh tentang hukum perkawinan melalui telepon dan dan bagaimana solusinya.
C. Hukun Perkawinan via Telepon
Pada tahun 1989 perkawinan jarak jauh khususnya lewat media telepon telah dikukuhkan oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989. Namun demikian, putusan ini dipandang cukup riskan. Bahkan, hakim yang memutus perkara tersebut mendapat teguran dari MA karena dianggap dapat menimbulkan preseden tidak baik. Hal yang dianggap bermasalah adalah rentannya penipuan dan pemalsuan. Suara atau percakapan bisa dipalsu dan ditiru bahkan satu orang terkadang mampu menirukan beberapa percakapan atau suara baik suara laki-laki atau perempuan, anak kecil ataupun orang dewasa dan para pendengar menyangka bahwa suara-suara tersebut keluar dari banyak mulut, ternyata suara-suara tersebut hanya dari satu lisan saja. Menurut pendapat yang menentang ini, karena dalam syariat selalu besikap hati-hati, maka akad nikah dari mulai ijab, kabul dan mewakilkan lewat telepon sebaiknya tidak disahkan. Demi kemurnian syari'at dan menjaga kemaluan dan kehormatan agar orang-orang jahil dan para pemalsu tidak mempermainkan kesucian Islam dan harga diri manusia meskipun seluruh syarat dan rukun nikah terpenuhi.
Penulis berpedoman pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan tidak memberatkan. Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang pentingnya suatu kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat. Sebenarnya masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Bukankah tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah.
Solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan adanya taukil atau perwakilan Karena secara umum, mewakilkan akad itu dibolehkan karena hal ini dibutuhkan oleh umat manusia dalam hubungan kemasyarakatan. Para Ahli Fiqh sependapat bahwa setiap akad yang boleh dilakukan oleh orang yang bersangkutan berarti boleh juga diwakilkan kepada orang lain. Dahulu Nabi saw. Dapat menjadi atau berperan sebagai wakil dalam akad perkawinan sebagian sahabatnya. Begitu juga Umar bin Umayyah adh-Dhamri pernah bertindak sebagai wakil Rasulullah (dengan Ummu Habibah), Dalam Hadits Rasul disebutkan yang artinya :
“Ummu Habibah adalah salah seorang yang pernah ikut berhijrah ke habsyah, dikawinkan oleh Raja Najasyi dengan Rasulullah, padahal pada waktu itu Ummu Habibab berada di negeri Raja Najasyi itu.”(H.R. Abu Dawud)
Jadi, Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukan tersebut boleh dilakukan secara jarak jauh melalui media komunikasi, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, email, atau Video Conference 3.5 G. Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki.
KESIMPULAN
Dari Uraian panjang diatas, dapat penulis simpulkan bahwa sebaiknya perkawinan lewat telepon tidak dilakukan, karena rentannya penipuan dan pemalsuan. Penulis berpedoman pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan tidak memberatkan. Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang pentingnya suatu kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat. Sebenarnya masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Solusinya adalah bukan nikah jarak jauh, akan tetapi adanya taukil atau perwakilan.
DAfTAR PUSTAKA
Muhamad Syuwaidah, Syekh kamil, Fiqh Wanita, Jakarta, 2006, Pustaka Alkautsar,
Effendi M, Zein MA, Prof, Dr. Satria Effendi,. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Prenada Media.2005.
Idris Ramulyo, Muhamad, SH.,M.H., Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jaakrta, 2000, Sinar Grafika,
Abu Hafsh Usamah bin kamal bin abdir Razaq, Panduan Lengkap Nikah, Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006,
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah jilid 3,2008, Jakarta, PT Nada Cipta Raya,
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,1986, Jakarta, UI Press,
NIKAH MUT'AH DAN AKIBAT HUKUMNYA
1. PENDAHULUAN
Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya. Karena akadnya hanya semata-mata untuk senang-senang saja antara laki-laki perempuan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami istri. Dalam nikah mut'ah tidak ada aturan tentang thalaq karena perkawinan itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan.
Untuk akhir-akhir ini nikah mut'ah banyak disalah artikan oleh banyak orang, termasuk oleh para pekerja seks. Mereka mempergunakan nikah mut'ah untuk melakukan hubungan seks dengan selain mukhrimnya dan untuk menutupi pekerjaan mereka agar tidak termasuk tindakan prostutisi yang dilarang oleh negara dan agama dan dapat dikenakan hukuman. Tetapi mereka yang melakukan nikah mut'ah biasanya tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan dari pernikahan yang telah mereka lakukan itu.
2. RUMUSAN MASALAH
Kawin kontrak (nikah mut'ah) yang merupakan tradisi kaum jahiliyah dan syi’ah ini. Setelah datangnya agama Islam telah dihapus dan diharamkan, karena ketentuan-ketentuan dalam nikah mut’ah yang mengibaratkan wanita sebagai barang. Islam menghapus nikah mut’ah untuk memuliakan wanita. Akan tetapi sampai saat ini, masih banyak yang melakukan nikah mut’ah, begitupun dalam masyarakat Indonesia.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana nikah mut'ah itu (haram dan halalnya) menurut para ulama' dan berbagai kalangan?
3. PEMBAHASAN
Perkawinan mut'ah ini diharamkan oleh islam, menurut kesepakatan madzhab, madzhab dalam kalangan Ahli Sunnah wal jama'ah. Tetapi madzhab Syiah memperbolehkan kawin mut'ah padahal hadits-hadits menunjukkan haramnya kawin mut'ah. Seperti hadits dibawah ini:
يَآاَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فىِ اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَاِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَة ِ.(رواه احمد و مسلم و ابن حبان)
"Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk kawin mut'ah, ingatlah sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat". (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Ibnu Hibban).
Nikah mut'ah semula dihalalkan pada awal Islam, karena mereka belum lama meninggalkan kekafiran. Jadi, ia diperbolehkan untuk menjinakkan mereka kemudian mengharamkannya pada saat penaklukan kota Makkah hingga kiamat. Persoalan yang timbul pada saat itu adalah bahwa seseorang datang di suatu negeri yang ia belum mengenalnya. Maka ia kawin dengan seorang wanita untuk masa waktu yang ia perkirakan bahwa ia selama waktu itulah ia akan bermukim di negeri itu. Dengan kawin itu maka istrinya akan menjaga baik-baik barang-barangnya, dan akan mengurus baginya hal-ihwal.
Hingga ayat: اِلاَّ عَلَى اَزْوَاجِهمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ
turun, yang artinya: "kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki." Maka setiap faraj selain dari kedua macam wanita tersebut adalah haram.
Sementara dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut`ah,antara lain:
a. Firman Allah SWT : "Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela" (QS. Al-mukminun:5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah,karena akad mut`ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1. Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
2. Iddah Mut`ah tidak seperti iddah nikah biasa.
3. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah.
4. Dengan melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut`ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut`ah termasuk didalam firman Allah:
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas"(QS. al-Mukminin :7)
b. Sebagaimana juga rasulullah, yang diketahui dari perkataan "Tsumma Nuhii `anhaa" dalam hadist menyebutkan bahwa nikah mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan
c. Nikah mut`ah bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia tentang perkawinan Islam di Indonesia dan tidak sah untuk dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati kepada pemerintah (ulil amri), berdasarkan, antara lain:
a. Firman Allah: "Hai orang beriman! Taatilah Allah dan Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu..."(QS. an-Nisa:59)
b. Kaidah Fiqhiyah: "Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat".
Sedangkan dalil-dalil haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab.
Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat
Pendapat Para Ulama Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
a. Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah"
b. Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
c. Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
d. Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
e. Menurut al-Qurthubi dengan adanya perintah menikah bagi yang mampu dan perintah untuk menjaga kesucian bagi yang tidak mampu, maka tidak diperbolehkan mencari jalan lain seperti onani, nikah mut’ah, dan berzina.
Berbeda dengan pendapat diatas, kita juga mendapatkan pendapat yang mengatakan bahwa ayat mut'ah tidak di nasakh. Pendapat ini diucapkan oleh sejumlah sahabat, tabi'in dan riwayat-riwayat yang datang dari Ahlul Bait as. Sealnjutnya akan kami uraikan pandangan Sayyidina Ali, Said bin Jubair dan lain-lain.
• Pada hakikatnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat mut'ah temasuk ayat muhkamat dan tidak nasakh, sedang Ibnu Baththal mengatakan bahwa orang-orang Makkah dan orang-orang Yaman meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengharamkannya.
Sebenarnya riwayaat yang mereka ambil dari Ibnu Abbas ialah riwayat yang lemah (dhaif), padahal riwayat dari beliau yang membolehkan lebih kuat, dan itulah yang banyak diikuti orang-orang syiah.
Selanjutnya kita akan menyebutkan sebagian besar pendapat para sahabat dan tabiin tentang nikah mut'ah secara luas dalam judul Nash-nash hdan hadits-hadits.
• Al-Hakam bin Utaibah pernah pada suatu saat ditanya apakah ayat mut'ah sudah dihapus? Beliau menjawab belum.
• Imran bin Al-Hushain menjelaskan bahwa ayat mut'ah tidak dinasakh.
Menurut sebagian ulama' dan para pengikut syiah, nikah mut'ah itu tidak diharamkan dan sebagaimana dalam salah satu ayat yang menyebut nikah bentuk itu seperti dalam firman Allah surat An-Nisa':24, yang artinya:
(Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban… (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara keduan pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut'ah, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ - إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, dan lainnya.
Ayat di atas (an-Nisa':24) sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam mermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artintya mereka mengakui bahwa atas di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah.
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak sangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat nasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Seperti ayat yang tersebut dibawah ini:
Adapun menurut para sebagian yang menganggap nikah mut'ah itu diperbolehkan menyebutkan bahwa bukti dari sunnah Nabi saw. yaitu bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkan (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya.
Menurut para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Terjadi perdebatan antara syiah dan sunni tentang nikah mut'ah, yaitu:
Menurut syiah
Dalam pandangan Syi'ah, Al-Qur'an yang ada tidak sempurna, karena telah dirubah oleh Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian Al-Qur'an yang ada harus ditolak dan yang sempurna akan dibawa oleh Imam Al-Muntazhar. Jika sekarang diterima, hanya sebagai Taqiyyah saja. Kaum Syi'ah percaya kepada taqiyyah (menampakkan selain yang mereka niatkan dan yang mereka sembunyikan). Taqiyyah adalah agamanya dan agama leluhurnya. Tidaklah beriman barangsiapa tidak pandai-pandai bertaqiyyah dan bermain watak.
Syi'ah berpandangan bahwa hadits yang dapat dipakai hanya disampaikan oleh Ahlul Bait atau yang tidak bertentangan dengan itu. Dan mereka berkeyakinan bahwa perkataan dan perbuatan Imam diyakini seperti hadits Rasulullah.
Menurut Syi'ah, NIKAH MUT'AH adalah rahmat. Belum sempurna iman sesorang kecuali dengan nikat mut'ah. Berapa pun banyaknya, boleh. Dibolehkan nikah mut'ah dengan gadis tanpa izin orang tuanya. Boleh mut'ah dengan pelacur, boleh mut'ah dengan Majusiah/Musyrikah (wanita Majusi/Musyrik).
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Menurut Sunni
Ahlussunnah berpandangan bahwa hadits yang shahih sebagaimana yang disampaikan oleh perawi hadits (Imam Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Nasa'i dan lain-lainnya) diterima dan dipakai sebagai pedoman dalam kehidupan setiap muslim.
Mereka menyebutkan bahwa "Kawin mut'ah itu menimbulkan keresahan, dan hak-hak wanita tidak terlindungi." Kawin mut'ah itu bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974). Jadi perkawinan itu tidak sah. (lihat Gatra , 25 Mei 1996).
Hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً....ةً telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artinya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
4. KESIMPULAN
a. Nikah mut`ah hukumnya adalah HARAM menurut madzhab Sunni, tetapi HALAL atau DIPERBOLEHKAN menurut madzhab Syiah
b. Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pada masa Rasulullah nikah mut'ah diperbolehkan sebanyak dua kali yaitu sebelum perang khaibar dan yang kedua pada waktu fathu makkah dan setelah itu nikah mut'ah diharamkan sampai hari kiamat.
d. Diperbolehkannya nikah mut'ah pada masa Rasulullah karena pada waktu itu sedang melakukan safar dan tidak ada istri atau budak yang ikut dengan mereka.
e. Batasan diperbolehkannya nikah mut'ah hanya tiga hari.
DAFTAR PUSTAKA
Usamah, Abu Hafsh bin Kamal bin 'Abdir Razzaq. 1998, Panduan Lengkap Nikah (dari A sampai Z), Bogor: Pustaka Ibnu Katsir
Alhamdani, H.S.A. 1989, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani
Al-'Amili, Ja'far Murtadho. 2002, Nikah Mut'ah Dalam Islam, Surakarta: Yayasan Abna' AL Husain
Anonim, 2002, Dalil-dalil Haramnya Nikah Mut'ah dan Pendapat para Ulama', http://www.operamail.com. (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2007, Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?, http://groups.yahoo.com/group/Tumpat/ (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2006, Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah, http://docs.yahoo.com/info/terms/ (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2007, Nikah Mut'ah menurut Tinjauan Syi'ah Rafidhah, http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php (tanggal makses 19 Mei 2009)
NIKAH SIRI DAN AKIBAT HUKUMNYA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” (UU Pernikahan Pasal 1)
Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama.
Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi. Meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain. Berbagai permasalahan pun akhirnya timbul.
Nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara Indonesia. Memang, masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya, nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (bagi yang muslim) atau Kantor Catatan Sipil setempat (bagi yang nonmuslim) untuk dicatat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka sangat penting bagi kita, sebagai mahasiswa muslim untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hukum nikah siri menurut pandangan Islam yang banyak sekali terjadi di kalangan mahasiswa.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Siri
Secara etimologi, kata siri berasal dari bahasa arab “sirrun” yang berarti rahasia. Dan secara terminology, nikah siri adalah pernikahan dibawah tangan. Di Indonesia munculnya nikah siri sejak diterbitkannya UU No. 1 tahun 1974 yang mewajibkan orang islam untuk mendaftarkan pernikahan kepada Negara. Secara jelas, nikah siri adalah pernikahan dibawah tangan, bersifat rahasia dan tidak diumumkan kepada khalayak ramai.
B. Nikah siri di kalangan ulama
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Agama Islam memang membolehkan adanya nikah siri. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menyatakan nikah siri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan. Kebanyakan ulama sepakat menilai nikah siri sah, namun tidak dianjurkan.
Nabi Muhammad sendiri tidak setuju dengan pernikahan jenis ini. Beberapa ulama seperti Imam Malik bahkan menyatakan nikah siri batal hukumnya. Tidak sahnya nikah siri disebabkan kerahasiaan yang dibawa. Pada dasarnya, pernikahan adalah sesuatu yang wajib diumumkan.
C. Fakta Nikah Siri dikalangan masyarakat
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Menurut pandangan yang berdasarkan analisa penulis, hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebuttelah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
D. Kerugian Nikah Siri bagi wanita
Banyak sekali kerugian yang tengah siap menerkam wanita dan anak yang terlibat dalam ikatan nikah siri ini. Berikut ini adalah beberapa kerugian yang harus ditanggung oleh seorang isteri dan anak dari hasil nikah siri:
• Pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum, sehingga anda tidak dianggap sebagai isteri yang sah.
• Isteri dan anak dari hasil nikah siri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia.
• Isteri dari hasil nikah siri tidak memiliki hak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum pernikahan siri mereka dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi.
• Kerugian dalam aspek sosial yang harus ditanggung oleh seorang wanita yang terikat hubungan nikah siri adalah sulitnya bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Biasanya, wanita yang tinggal serumah dengan suami yang merupakan hasil dari nikah siri akan dianggap kumpul kebo, atau kadang juga dianggap sebagai isteri simpanan. Wanita tersebut akan menjadi buah bibir di lingkungan tempat tinggalnya.
• Kerugian yang harus ditanggung oleh anak dari hasil nikah siri adalah, akan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Dan pada akhirnya, anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Secara hukum, anak tersebut tidak memiliki hubungan dengan sang ayah. Hal ini sesuai dengan UU Pernikahan pasal 42 dan pasal 43 ayat 1 berikut:
Pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43 ayat (1): “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Akte kelahiran si anak pun hanya akan dicantumkan nama ibunya saja, sedangkan nama sang ayah tidak ada. Selain itu, status anak pun akan tertulis sebagai anak di luar nikah. Hal ini juga banyak sekali mengakibatkan melekatnya cap negatif masyarakat terhadap anak tersebut, yaitu sebagai anak haram. Status sosial anak tersebut tentu saja akan membuat sang anak menderita dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan mungkin sepanjang hidupnya.
• Status si anak yang tidak jelas di mata hukum, tentu saja akan menimbulkan lemahnya hubungan antara si anak dengan sang ayah. Dan seandainya, suatu saat sang ayah tidak mengakui bahwa anak tersebut bukanlah anak kandungnya, maka sang anak tidak akan memiliki kekuatan apa-apa yang dapat ia gunakan untuk melakukan pembelaan atau melakukan gugatan.
• Dan yang paling merugikan si anak adalah, bahwa anak tersebut tidak memiliki hak atas nafkah, biaya pendidikan, biaya kehidupan, dan warisan dari sang ayah.
Itulah beberapa kerugian yang siap menerkan para wanita dan anak-anak yang terjebak dalam ikatan nikah siri. Begitu banyak dan begitu besar kerugian yang harus mereka terima, sementara dari pihak suami tidak akan mengalami kerugian apapun. Ya… dalam perkara nikah siri ini, sang suami hampir tidak akan mengalami kerugian dalam hal apapun. Bahkan sebaliknya, banyak sekali keuntungan yang siap diunduhnya.
Nikah siri yang dianggap tidak sah dimata hukum, akan memberikan kebebasan kepada sang suami untuk menikah lagi. Sang isteri tidak memiliki hak untuk menolak pernikahan tersebut, karena pernikahan yang telah mereka lakukan adalah pernikahan yang di mata hukum dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi. Selain itu, sang suami juga dapat lepas tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anak dari hasil nikah sirinya. Dan yang jelas, sang suami tidak akan repot dengan masalah pembagian harta gono-gini, harta warisan, dan lain-lain. Sang isteri dan anak tidak akan memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan pernikahan dan status mereka.
Begitu banyak dan besarnya kerugian yang harus siap diterima oleh para wanita dan anak yang tidak berdosa atas terjadinya ritual nikah siri. Kesewenangan dari pihak suami atau ayah dapat dengan mudah terjadi di luar pantauan hukum. Itulah, mengapa UU Pernikahan pasal 2 ayat 2 merupakan salah satu aturan pernikahan yang sangat vital, yang harus dilaksanakan oleh setiap pasangan yang hendak menikah. Dan itulah, mengapa akhirnya pemerintah atau negara tidak mengakui adanya nikah siri.
KESIMPULAN
Pernikahan siri sebenarnya bertentangan dengan filosopi islam yaitu :
1. Islam menganggap perkawinan sebagai sebuah perjanjian yang kokoh (QS An Nisa-21) dan dinyatakan bahwa “ perceraian adalah satu-satunya perkara halal dalam islam tapi sangat dibenci Allah” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
2. Islam memposisikan istri sebagai Pakaian suami dan sebaliknya sehingga secara hukum suami istri harus mempunyai posisi yang sejajar atau semitra. Konsep nikah siri secara telanjang bertentangan dengan maslahat primer yang ada dalam hukum islam “maqasid al-syar’ah”, menjaga keturunan “hifzu al-nasl”, karena tidak adanya perlindungan hukum yang dapat diterima anak hasil nikah siri.
3. Dengan melihat banyaknya kerugian dan bahayanya bagi wanita, Islam mempunyai jalan keluar yakni “Saddu-Dzari’ah” yakni menutup kemungkinan timbulnya bahaya. Jadi hendaknya nikah siri dalam ketiga fakta diatas untuk dihindari.
OLEH:
Oleh :
Ghazali abbas bachanies (07120016)
Khoiriyah (07120023)
Siti nafi’ah (07120015)
Ari ferdinansyah (07120017)
JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009
HUKUN PERKAWINAN VIA TELEPON
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
Pernikahan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian dsini untuk memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinana serta penampakannya terhadap masyarakat ramani, sedangkan sebutan suci untuk pernyataan segi keagamaanya dari suatu perkawinan.
Dari pengertian diatas, kita bisa melihat betapa suci dan pentingnya suatu ikatan pernikahan. Semua orang berharap hanya melakukan satu kali pernikahan saja dalam seumur hidupnya, akan tetapi pada era modernisasi ini, banyak sekali kasus-kasus perceraian bermunculan yang mudah sekali kita lihat dari tayangan-tayangan televisi dan terutama di golongan entertainer dan banyak pula di masyarakat luas.
Selain bermunculan kasus perceraian, akhir-akhir ini juga muncul suatu pernikahan yang tidak sewajarnya terjadi dan tidak pernah ada di masa Rasul, sahabat maupun tabi’in, yaitu pernikahan melalui media komunikasi khususnya via telepon. Penyebab adanya pernikahan ini tidak lain adalah karena kebutuhan untuk menikah dibenturkan dengan gaya hidup modern dalam berbagai bidang yang menuntut efisisensi yang optimal dan domisili tempat tinggal dan bekerja yang sangant jauh antara calon mempelai.
Diskursus hukum tentang masalah ini bukanlah baru.Solusi hukum sudah bermunculan seiring dengan perkembangan media komunikasi itu sendiri. Berbagai fatwa hukum pun pernah diterbitkan dengan tentunya terdapat perbedaan di seputar itu. Maka dari itu penulis ingan membahas tentang permasalahan ini.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, terdapat beberapa hal yang berkaitan erat dengan permasalahan ini yang akan penulis bahas
1. Apa Pengertian,,syarat dan Rukun Pernikahan
2. Bagaimana kedudukan ijab qabul dalam akad nikah dan apa persyratannya
3. Bagaimana hukum penikahan via telepon
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Syarat dan Rukun Pernikahan
Untuk mengetahui bagimana hukum pernikahan via telepon, perlu kita ketahui terlebih dahulu tentang pengertian perkawinan, syarat dan rukunnya. Pengertian nikah menurut syari’at, Ibnu Qadamah berkata: “Nikah menurut syari’at adalah akad perkawinan. Ketikan kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian, selagi tidak ada satu dalilpun yang memalingkan darinya. Perkawinan juga harus dilihat dari tiga segi pandangan :
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu pejanjian. Oleh Q.IV : 21 (surat An-nisa : 21), menyatakan “……….perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”
Juga dapat dikemukakan sebagai alas an untuk untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya :
a. Cara mengaakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Segi social dari suatu perkawinan
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting.
Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacaa perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungka menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya denganmempergunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh Q.IV. : 1 surat Annisa ayat 1.
Adapun Syarat dan rukun pekawinann ialah :
a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
b. Harus ada dua orang saksi yang beragama Islam
c. Harus ada wali dari pengantin wanita
d. Kewajiban membayar mahar dari pihak pengantin laki-laki kepada pengantin wanita.
e. Harus ada pengucapan “Ijab dan qabul” antara kedua pengantin itu
f. Untuk memformulering secara resmiijab dan qabul maka diadakan walimah.
Yang perlu dipermasalahkan dalam kaitan dengan tulisan ini ialah tentang Ijab dan qabul.
B. Kedudukan Ijab Qabul dalam Akad Nikah dan Persyaratan Bersatu majlis Bagi Ijab Qabul
Manifestasi dari perasaan rela sama rela dan suka sama suka dalam akad nikah adalah ijab dan qabul, oleh karena itu ijab qabul adalah unsure mendasar bagi keabsahan akad nikah. Ijab berarti menyerahkan amanah Allah yaitu anak perempuan si wali kepada calon suami, dan qabul berarti sebagai lambing bagi kerelaan menerima amanah Allah. Dengan Ijab qabul menjadi halal sesuatu yang tadinya haram.
Syaikh Kamil Muhammad Syuwaidah menulis dalam bukunya bahwa disyaratkan menyatukan tempat ijab qabul. Begitu juga Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya menukil Al-fiqh ‘ala Mazahib al-arba’ah menukil kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu majlelis bagi ijab qabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan qabulnya, akad nikah dianggap tidak sah.
Dalam hal perkawinan melalui telepon, ijab qabul tidak dilaksanakan dalam satu majelis, berarti perkawinan melalui telepon tidak sah. Akan tetapi berikut akan dibahas lebih jauh tentang hukum perkawinan melalui telepon dan dan bagaimana solusinya.
C. Hukun Perkawinan via Telepon
Pada tahun 1989 perkawinan jarak jauh khususnya lewat media telepon telah dikukuhkan oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989. Namun demikian, putusan ini dipandang cukup riskan. Bahkan, hakim yang memutus perkara tersebut mendapat teguran dari MA karena dianggap dapat menimbulkan preseden tidak baik. Hal yang dianggap bermasalah adalah rentannya penipuan dan pemalsuan. Suara atau percakapan bisa dipalsu dan ditiru bahkan satu orang terkadang mampu menirukan beberapa percakapan atau suara baik suara laki-laki atau perempuan, anak kecil ataupun orang dewasa dan para pendengar menyangka bahwa suara-suara tersebut keluar dari banyak mulut, ternyata suara-suara tersebut hanya dari satu lisan saja. Menurut pendapat yang menentang ini, karena dalam syariat selalu besikap hati-hati, maka akad nikah dari mulai ijab, kabul dan mewakilkan lewat telepon sebaiknya tidak disahkan. Demi kemurnian syari'at dan menjaga kemaluan dan kehormatan agar orang-orang jahil dan para pemalsu tidak mempermainkan kesucian Islam dan harga diri manusia meskipun seluruh syarat dan rukun nikah terpenuhi.
Penulis berpedoman pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan tidak memberatkan. Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang pentingnya suatu kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat. Sebenarnya masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Bukankah tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah.
Solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan adanya taukil atau perwakilan Karena secara umum, mewakilkan akad itu dibolehkan karena hal ini dibutuhkan oleh umat manusia dalam hubungan kemasyarakatan. Para Ahli Fiqh sependapat bahwa setiap akad yang boleh dilakukan oleh orang yang bersangkutan berarti boleh juga diwakilkan kepada orang lain. Dahulu Nabi saw. Dapat menjadi atau berperan sebagai wakil dalam akad perkawinan sebagian sahabatnya. Begitu juga Umar bin Umayyah adh-Dhamri pernah bertindak sebagai wakil Rasulullah (dengan Ummu Habibah), Dalam Hadits Rasul disebutkan yang artinya :
“Ummu Habibah adalah salah seorang yang pernah ikut berhijrah ke habsyah, dikawinkan oleh Raja Najasyi dengan Rasulullah, padahal pada waktu itu Ummu Habibab berada di negeri Raja Najasyi itu.”(H.R. Abu Dawud)
Jadi, Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukan tersebut boleh dilakukan secara jarak jauh melalui media komunikasi, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, email, atau Video Conference 3.5 G. Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki.
KESIMPULAN
Dari Uraian panjang diatas, dapat penulis simpulkan bahwa sebaiknya perkawinan lewat telepon tidak dilakukan, karena rentannya penipuan dan pemalsuan. Penulis berpedoman pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan tidak memberatkan. Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang pentingnya suatu kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat. Sebenarnya masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Solusinya adalah bukan nikah jarak jauh, akan tetapi adanya taukil atau perwakilan.
DAfTAR PUSTAKA
Muhamad Syuwaidah, Syekh kamil, Fiqh Wanita, Jakarta, 2006, Pustaka Alkautsar,
Effendi M, Zein MA, Prof, Dr. Satria Effendi,. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Prenada Media.2005.
Idris Ramulyo, Muhamad, SH.,M.H., Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jaakrta, 2000, Sinar Grafika,
Abu Hafsh Usamah bin kamal bin abdir Razaq, Panduan Lengkap Nikah, Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006,
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah jilid 3,2008, Jakarta, PT Nada Cipta Raya,
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,1986, Jakarta, UI Press,
NIKAH MUT'AH DAN AKIBAT HUKUMNYA
1. PENDAHULUAN
Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya. Karena akadnya hanya semata-mata untuk senang-senang saja antara laki-laki perempuan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami istri. Dalam nikah mut'ah tidak ada aturan tentang thalaq karena perkawinan itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan.
Untuk akhir-akhir ini nikah mut'ah banyak disalah artikan oleh banyak orang, termasuk oleh para pekerja seks. Mereka mempergunakan nikah mut'ah untuk melakukan hubungan seks dengan selain mukhrimnya dan untuk menutupi pekerjaan mereka agar tidak termasuk tindakan prostutisi yang dilarang oleh negara dan agama dan dapat dikenakan hukuman. Tetapi mereka yang melakukan nikah mut'ah biasanya tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan dari pernikahan yang telah mereka lakukan itu.
2. RUMUSAN MASALAH
Kawin kontrak (nikah mut'ah) yang merupakan tradisi kaum jahiliyah dan syi’ah ini. Setelah datangnya agama Islam telah dihapus dan diharamkan, karena ketentuan-ketentuan dalam nikah mut’ah yang mengibaratkan wanita sebagai barang. Islam menghapus nikah mut’ah untuk memuliakan wanita. Akan tetapi sampai saat ini, masih banyak yang melakukan nikah mut’ah, begitupun dalam masyarakat Indonesia.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana nikah mut'ah itu (haram dan halalnya) menurut para ulama' dan berbagai kalangan?
3. PEMBAHASAN
Perkawinan mut'ah ini diharamkan oleh islam, menurut kesepakatan madzhab, madzhab dalam kalangan Ahli Sunnah wal jama'ah. Tetapi madzhab Syiah memperbolehkan kawin mut'ah padahal hadits-hadits menunjukkan haramnya kawin mut'ah. Seperti hadits dibawah ini:
يَآاَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فىِ اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَاِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَة ِ.(رواه احمد و مسلم و ابن حبان)
"Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk kawin mut'ah, ingatlah sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat". (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Ibnu Hibban).
Nikah mut'ah semula dihalalkan pada awal Islam, karena mereka belum lama meninggalkan kekafiran. Jadi, ia diperbolehkan untuk menjinakkan mereka kemudian mengharamkannya pada saat penaklukan kota Makkah hingga kiamat. Persoalan yang timbul pada saat itu adalah bahwa seseorang datang di suatu negeri yang ia belum mengenalnya. Maka ia kawin dengan seorang wanita untuk masa waktu yang ia perkirakan bahwa ia selama waktu itulah ia akan bermukim di negeri itu. Dengan kawin itu maka istrinya akan menjaga baik-baik barang-barangnya, dan akan mengurus baginya hal-ihwal.
Hingga ayat: اِلاَّ عَلَى اَزْوَاجِهمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ
turun, yang artinya: "kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki." Maka setiap faraj selain dari kedua macam wanita tersebut adalah haram.
Sementara dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut`ah,antara lain:
a. Firman Allah SWT : "Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela" (QS. Al-mukminun:5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah,karena akad mut`ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1. Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
2. Iddah Mut`ah tidak seperti iddah nikah biasa.
3. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah.
4. Dengan melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut`ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut`ah termasuk didalam firman Allah:
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas"(QS. al-Mukminin :7)
b. Sebagaimana juga rasulullah, yang diketahui dari perkataan "Tsumma Nuhii `anhaa" dalam hadist menyebutkan bahwa nikah mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan
c. Nikah mut`ah bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia tentang perkawinan Islam di Indonesia dan tidak sah untuk dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati kepada pemerintah (ulil amri), berdasarkan, antara lain:
a. Firman Allah: "Hai orang beriman! Taatilah Allah dan Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu..."(QS. an-Nisa:59)
b. Kaidah Fiqhiyah: "Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat".
Sedangkan dalil-dalil haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab.
Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat
Pendapat Para Ulama Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
a. Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah"
b. Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
c. Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
d. Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
e. Menurut al-Qurthubi dengan adanya perintah menikah bagi yang mampu dan perintah untuk menjaga kesucian bagi yang tidak mampu, maka tidak diperbolehkan mencari jalan lain seperti onani, nikah mut’ah, dan berzina.
Berbeda dengan pendapat diatas, kita juga mendapatkan pendapat yang mengatakan bahwa ayat mut'ah tidak di nasakh. Pendapat ini diucapkan oleh sejumlah sahabat, tabi'in dan riwayat-riwayat yang datang dari Ahlul Bait as. Sealnjutnya akan kami uraikan pandangan Sayyidina Ali, Said bin Jubair dan lain-lain.
• Pada hakikatnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat mut'ah temasuk ayat muhkamat dan tidak nasakh, sedang Ibnu Baththal mengatakan bahwa orang-orang Makkah dan orang-orang Yaman meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengharamkannya.
Sebenarnya riwayaat yang mereka ambil dari Ibnu Abbas ialah riwayat yang lemah (dhaif), padahal riwayat dari beliau yang membolehkan lebih kuat, dan itulah yang banyak diikuti orang-orang syiah.
Selanjutnya kita akan menyebutkan sebagian besar pendapat para sahabat dan tabiin tentang nikah mut'ah secara luas dalam judul Nash-nash hdan hadits-hadits.
• Al-Hakam bin Utaibah pernah pada suatu saat ditanya apakah ayat mut'ah sudah dihapus? Beliau menjawab belum.
• Imran bin Al-Hushain menjelaskan bahwa ayat mut'ah tidak dinasakh.
Menurut sebagian ulama' dan para pengikut syiah, nikah mut'ah itu tidak diharamkan dan sebagaimana dalam salah satu ayat yang menyebut nikah bentuk itu seperti dalam firman Allah surat An-Nisa':24, yang artinya:
(Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban… (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara keduan pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut'ah, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ - إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, dan lainnya.
Ayat di atas (an-Nisa':24) sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam mermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artintya mereka mengakui bahwa atas di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah.
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak sangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat nasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Seperti ayat yang tersebut dibawah ini:
Adapun menurut para sebagian yang menganggap nikah mut'ah itu diperbolehkan menyebutkan bahwa bukti dari sunnah Nabi saw. yaitu bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkan (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya.
Menurut para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Terjadi perdebatan antara syiah dan sunni tentang nikah mut'ah, yaitu:
Menurut syiah
Dalam pandangan Syi'ah, Al-Qur'an yang ada tidak sempurna, karena telah dirubah oleh Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian Al-Qur'an yang ada harus ditolak dan yang sempurna akan dibawa oleh Imam Al-Muntazhar. Jika sekarang diterima, hanya sebagai Taqiyyah saja. Kaum Syi'ah percaya kepada taqiyyah (menampakkan selain yang mereka niatkan dan yang mereka sembunyikan). Taqiyyah adalah agamanya dan agama leluhurnya. Tidaklah beriman barangsiapa tidak pandai-pandai bertaqiyyah dan bermain watak.
Syi'ah berpandangan bahwa hadits yang dapat dipakai hanya disampaikan oleh Ahlul Bait atau yang tidak bertentangan dengan itu. Dan mereka berkeyakinan bahwa perkataan dan perbuatan Imam diyakini seperti hadits Rasulullah.
Menurut Syi'ah, NIKAH MUT'AH adalah rahmat. Belum sempurna iman sesorang kecuali dengan nikat mut'ah. Berapa pun banyaknya, boleh. Dibolehkan nikah mut'ah dengan gadis tanpa izin orang tuanya. Boleh mut'ah dengan pelacur, boleh mut'ah dengan Majusiah/Musyrikah (wanita Majusi/Musyrik).
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Menurut Sunni
Ahlussunnah berpandangan bahwa hadits yang shahih sebagaimana yang disampaikan oleh perawi hadits (Imam Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Nasa'i dan lain-lainnya) diterima dan dipakai sebagai pedoman dalam kehidupan setiap muslim.
Mereka menyebutkan bahwa "Kawin mut'ah itu menimbulkan keresahan, dan hak-hak wanita tidak terlindungi." Kawin mut'ah itu bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974). Jadi perkawinan itu tidak sah. (lihat Gatra , 25 Mei 1996).
Hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً....ةً telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artinya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
4. KESIMPULAN
a. Nikah mut`ah hukumnya adalah HARAM menurut madzhab Sunni, tetapi HALAL atau DIPERBOLEHKAN menurut madzhab Syiah
b. Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pada masa Rasulullah nikah mut'ah diperbolehkan sebanyak dua kali yaitu sebelum perang khaibar dan yang kedua pada waktu fathu makkah dan setelah itu nikah mut'ah diharamkan sampai hari kiamat.
d. Diperbolehkannya nikah mut'ah pada masa Rasulullah karena pada waktu itu sedang melakukan safar dan tidak ada istri atau budak yang ikut dengan mereka.
e. Batasan diperbolehkannya nikah mut'ah hanya tiga hari.
DAFTAR PUSTAKA
Usamah, Abu Hafsh bin Kamal bin 'Abdir Razzaq. 1998, Panduan Lengkap Nikah (dari A sampai Z), Bogor: Pustaka Ibnu Katsir
Alhamdani, H.S.A. 1989, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani
Al-'Amili, Ja'far Murtadho. 2002, Nikah Mut'ah Dalam Islam, Surakarta: Yayasan Abna' AL Husain
Anonim, 2002, Dalil-dalil Haramnya Nikah Mut'ah dan Pendapat para Ulama', http://www.operamail.com. (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2007, Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?, http://groups.yahoo.com/group/Tumpat/ (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2006, Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah, http://docs.yahoo.com/info/terms/ (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2007, Nikah Mut'ah menurut Tinjauan Syi'ah Rafidhah, http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php (tanggal makses 19 Mei 2009)
NIKAH SIRI DAN AKIBAT HUKUMNYA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” (UU Pernikahan Pasal 1)
Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama.
Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi. Meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain. Berbagai permasalahan pun akhirnya timbul.
Nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara Indonesia. Memang, masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya, nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (bagi yang muslim) atau Kantor Catatan Sipil setempat (bagi yang nonmuslim) untuk dicatat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka sangat penting bagi kita, sebagai mahasiswa muslim untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hukum nikah siri menurut pandangan Islam yang banyak sekali terjadi di kalangan mahasiswa.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Siri
Secara etimologi, kata siri berasal dari bahasa arab “sirrun” yang berarti rahasia. Dan secara terminology, nikah siri adalah pernikahan dibawah tangan. Di Indonesia munculnya nikah siri sejak diterbitkannya UU No. 1 tahun 1974 yang mewajibkan orang islam untuk mendaftarkan pernikahan kepada Negara. Secara jelas, nikah siri adalah pernikahan dibawah tangan, bersifat rahasia dan tidak diumumkan kepada khalayak ramai.
B. Nikah siri di kalangan ulama
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Agama Islam memang membolehkan adanya nikah siri. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menyatakan nikah siri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan. Kebanyakan ulama sepakat menilai nikah siri sah, namun tidak dianjurkan.
Nabi Muhammad sendiri tidak setuju dengan pernikahan jenis ini. Beberapa ulama seperti Imam Malik bahkan menyatakan nikah siri batal hukumnya. Tidak sahnya nikah siri disebabkan kerahasiaan yang dibawa. Pada dasarnya, pernikahan adalah sesuatu yang wajib diumumkan.
C. Fakta Nikah Siri dikalangan masyarakat
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Menurut pandangan yang berdasarkan analisa penulis, hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebuttelah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
D. Kerugian Nikah Siri bagi wanita
Banyak sekali kerugian yang tengah siap menerkam wanita dan anak yang terlibat dalam ikatan nikah siri ini. Berikut ini adalah beberapa kerugian yang harus ditanggung oleh seorang isteri dan anak dari hasil nikah siri:
• Pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum, sehingga anda tidak dianggap sebagai isteri yang sah.
• Isteri dan anak dari hasil nikah siri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia.
• Isteri dari hasil nikah siri tidak memiliki hak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum pernikahan siri mereka dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi.
• Kerugian dalam aspek sosial yang harus ditanggung oleh seorang wanita yang terikat hubungan nikah siri adalah sulitnya bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Biasanya, wanita yang tinggal serumah dengan suami yang merupakan hasil dari nikah siri akan dianggap kumpul kebo, atau kadang juga dianggap sebagai isteri simpanan. Wanita tersebut akan menjadi buah bibir di lingkungan tempat tinggalnya.
• Kerugian yang harus ditanggung oleh anak dari hasil nikah siri adalah, akan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Dan pada akhirnya, anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Secara hukum, anak tersebut tidak memiliki hubungan dengan sang ayah. Hal ini sesuai dengan UU Pernikahan pasal 42 dan pasal 43 ayat 1 berikut:
Pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43 ayat (1): “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Akte kelahiran si anak pun hanya akan dicantumkan nama ibunya saja, sedangkan nama sang ayah tidak ada. Selain itu, status anak pun akan tertulis sebagai anak di luar nikah. Hal ini juga banyak sekali mengakibatkan melekatnya cap negatif masyarakat terhadap anak tersebut, yaitu sebagai anak haram. Status sosial anak tersebut tentu saja akan membuat sang anak menderita dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan mungkin sepanjang hidupnya.
• Status si anak yang tidak jelas di mata hukum, tentu saja akan menimbulkan lemahnya hubungan antara si anak dengan sang ayah. Dan seandainya, suatu saat sang ayah tidak mengakui bahwa anak tersebut bukanlah anak kandungnya, maka sang anak tidak akan memiliki kekuatan apa-apa yang dapat ia gunakan untuk melakukan pembelaan atau melakukan gugatan.
• Dan yang paling merugikan si anak adalah, bahwa anak tersebut tidak memiliki hak atas nafkah, biaya pendidikan, biaya kehidupan, dan warisan dari sang ayah.
Itulah beberapa kerugian yang siap menerkan para wanita dan anak-anak yang terjebak dalam ikatan nikah siri. Begitu banyak dan begitu besar kerugian yang harus mereka terima, sementara dari pihak suami tidak akan mengalami kerugian apapun. Ya… dalam perkara nikah siri ini, sang suami hampir tidak akan mengalami kerugian dalam hal apapun. Bahkan sebaliknya, banyak sekali keuntungan yang siap diunduhnya.
Nikah siri yang dianggap tidak sah dimata hukum, akan memberikan kebebasan kepada sang suami untuk menikah lagi. Sang isteri tidak memiliki hak untuk menolak pernikahan tersebut, karena pernikahan yang telah mereka lakukan adalah pernikahan yang di mata hukum dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi. Selain itu, sang suami juga dapat lepas tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anak dari hasil nikah sirinya. Dan yang jelas, sang suami tidak akan repot dengan masalah pembagian harta gono-gini, harta warisan, dan lain-lain. Sang isteri dan anak tidak akan memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan pernikahan dan status mereka.
Begitu banyak dan besarnya kerugian yang harus siap diterima oleh para wanita dan anak yang tidak berdosa atas terjadinya ritual nikah siri. Kesewenangan dari pihak suami atau ayah dapat dengan mudah terjadi di luar pantauan hukum. Itulah, mengapa UU Pernikahan pasal 2 ayat 2 merupakan salah satu aturan pernikahan yang sangat vital, yang harus dilaksanakan oleh setiap pasangan yang hendak menikah. Dan itulah, mengapa akhirnya pemerintah atau negara tidak mengakui adanya nikah siri.
KESIMPULAN
Pernikahan siri sebenarnya bertentangan dengan filosopi islam yaitu :
1. Islam menganggap perkawinan sebagai sebuah perjanjian yang kokoh (QS An Nisa-21) dan dinyatakan bahwa “ perceraian adalah satu-satunya perkara halal dalam islam tapi sangat dibenci Allah” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
2. Islam memposisikan istri sebagai Pakaian suami dan sebaliknya sehingga secara hukum suami istri harus mempunyai posisi yang sejajar atau semitra. Konsep nikah siri secara telanjang bertentangan dengan maslahat primer yang ada dalam hukum islam “maqasid al-syar’ah”, menjaga keturunan “hifzu al-nasl”, karena tidak adanya perlindungan hukum yang dapat diterima anak hasil nikah siri.
3. Dengan melihat banyaknya kerugian dan bahayanya bagi wanita, Islam mempunyai jalan keluar yakni “Saddu-Dzari’ah” yakni menutup kemungkinan timbulnya bahaya. Jadi hendaknya nikah siri dalam ketiga fakta diatas untuk dihindari.
Langganan:
Postingan (Atom)