Selamat Datang

WELCOME TO MY BLOG.......

Kamis, 16 Desember 2010

Hukum Perkawinan Via Telepon

KUMPULAN MAKALAH FIQH MUNAKAHAT







OLEH:












Oleh :

Ghazali abbas bachanies (07120016)
Khoiriyah (07120023)
Siti nafi’ah (07120015)
Ari ferdinansyah (07120017)




JURUSAN SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2009


HUKUN PERKAWINAN VIA TELEPON
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
Pernikahan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian dsini untuk memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinana serta penampakannya terhadap masyarakat ramani, sedangkan sebutan suci untuk pernyataan segi keagamaanya dari suatu perkawinan.
Dari pengertian diatas, kita bisa melihat betapa suci dan pentingnya suatu ikatan pernikahan. Semua orang berharap hanya melakukan satu kali pernikahan saja dalam seumur hidupnya, akan tetapi pada era modernisasi ini, banyak sekali kasus-kasus perceraian bermunculan yang mudah sekali kita lihat dari tayangan-tayangan televisi dan terutama di golongan entertainer dan banyak pula di masyarakat luas.
Selain bermunculan kasus perceraian, akhir-akhir ini juga muncul suatu pernikahan yang tidak sewajarnya terjadi dan tidak pernah ada di masa Rasul, sahabat maupun tabi’in, yaitu pernikahan melalui media komunikasi khususnya via telepon. Penyebab adanya pernikahan ini tidak lain adalah karena kebutuhan untuk menikah dibenturkan dengan gaya hidup modern dalam berbagai bidang yang menuntut efisisensi yang optimal dan domisili tempat tinggal dan bekerja yang sangant jauh antara calon mempelai.
Diskursus hukum tentang masalah ini bukanlah baru.Solusi hukum sudah bermunculan seiring dengan perkembangan media komunikasi itu sendiri. Berbagai fatwa hukum pun pernah diterbitkan dengan tentunya terdapat perbedaan di seputar itu. Maka dari itu penulis ingan membahas tentang permasalahan ini.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, terdapat beberapa hal yang berkaitan erat dengan permasalahan ini yang akan penulis bahas
1. Apa Pengertian,,syarat dan Rukun Pernikahan
2. Bagaimana kedudukan ijab qabul dalam akad nikah dan apa persyratannya
3. Bagaimana hukum penikahan via telepon


PEMBAHASAN
A. Pengertian, Syarat dan Rukun Pernikahan
Untuk mengetahui bagimana hukum pernikahan via telepon, perlu kita ketahui terlebih dahulu tentang pengertian perkawinan, syarat dan rukunnya. Pengertian nikah menurut syari’at, Ibnu Qadamah berkata: “Nikah menurut syari’at adalah akad perkawinan. Ketikan kata nikah diucapkan secara mutlak, maka kata itu bermakna demikian, selagi tidak ada satu dalilpun yang memalingkan darinya. Perkawinan juga harus dilihat dari tiga segi pandangan :
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu pejanjian. Oleh Q.IV : 21 (surat An-nisa : 21), menyatakan “……….perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”
Juga dapat dikemukakan sebagai alas an untuk untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya :
a. Cara mengaakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.
b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2. Segi social dari suatu perkawinan
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting.
Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacaa perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungka menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya denganmempergunakan nama Allah sebagai diingatkan oleh Q.IV. : 1 surat Annisa ayat 1.

Adapun Syarat dan rukun pekawinann ialah :
a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
b. Harus ada dua orang saksi yang beragama Islam
c. Harus ada wali dari pengantin wanita
d. Kewajiban membayar mahar dari pihak pengantin laki-laki kepada pengantin wanita.
e. Harus ada pengucapan “Ijab dan qabul” antara kedua pengantin itu
f. Untuk memformulering secara resmiijab dan qabul maka diadakan walimah.
Yang perlu dipermasalahkan dalam kaitan dengan tulisan ini ialah tentang Ijab dan qabul.

B. Kedudukan Ijab Qabul dalam Akad Nikah dan Persyaratan Bersatu majlis Bagi Ijab Qabul
Manifestasi dari perasaan rela sama rela dan suka sama suka dalam akad nikah adalah ijab dan qabul, oleh karena itu ijab qabul adalah unsure mendasar bagi keabsahan akad nikah. Ijab berarti menyerahkan amanah Allah yaitu anak perempuan si wali kepada calon suami, dan qabul berarti sebagai lambing bagi kerelaan menerima amanah Allah. Dengan Ijab qabul menjadi halal sesuatu yang tadinya haram.

Syaikh Kamil Muhammad Syuwaidah menulis dalam bukunya bahwa disyaratkan menyatukan tempat ijab qabul. Begitu juga Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya menukil Al-fiqh ‘ala Mazahib al-arba’ah menukil kesepakatan ulama mujtahid mensyaratkan bersatu majlelis bagi ijab qabul. Dengan demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan majelis mengucapkan qabulnya, akad nikah dianggap tidak sah.
Dalam hal perkawinan melalui telepon, ijab qabul tidak dilaksanakan dalam satu majelis, berarti perkawinan melalui telepon tidak sah. Akan tetapi berikut akan dibahas lebih jauh tentang hukum perkawinan melalui telepon dan dan bagaimana solusinya.

C. Hukun Perkawinan via Telepon
Pada tahun 1989 perkawinan jarak jauh khususnya lewat media telepon telah dikukuhkan oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989. Namun demikian, putusan ini dipandang cukup riskan. Bahkan, hakim yang memutus perkara tersebut mendapat teguran dari MA karena dianggap dapat menimbulkan preseden tidak baik. Hal yang dianggap bermasalah adalah rentannya penipuan dan pemalsuan. Suara atau percakapan bisa dipalsu dan ditiru bahkan satu orang terkadang mampu menirukan beberapa percakapan atau suara baik suara laki-laki atau perempuan, anak kecil ataupun orang dewasa dan para pendengar menyangka bahwa suara-suara tersebut keluar dari banyak mulut, ternyata suara-suara tersebut hanya dari satu lisan saja. Menurut pendapat yang menentang ini, karena dalam syariat selalu besikap hati-hati, maka akad nikah dari mulai ijab, kabul dan mewakilkan lewat telepon sebaiknya tidak disahkan. Demi kemurnian syari'at dan menjaga kemaluan dan kehormatan agar orang-orang jahil dan para pemalsu tidak mempermainkan kesucian Islam dan harga diri manusia meskipun seluruh syarat dan rukun nikah terpenuhi.
Penulis berpedoman pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan tidak memberatkan. Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang pentingnya suatu kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat. Sebenarnya masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Baik yang terpisah adalah pasangannya atau pun walinya, atau bahkan ketiga pihak yaitu calon suami, calon isteri dan wali semua terpisah jarak. Bukankah tetap masih dimungkinkan adanya akad nikah.
Solusinya bukan nikah jarak jauh, melainkan adanya taukil atau perwakilan Karena secara umum, mewakilkan akad itu dibolehkan karena hal ini dibutuhkan oleh umat manusia dalam hubungan kemasyarakatan. Para Ahli Fiqh sependapat bahwa setiap akad yang boleh dilakukan oleh orang yang bersangkutan berarti boleh juga diwakilkan kepada orang lain. Dahulu Nabi saw. Dapat menjadi atau berperan sebagai wakil dalam akad perkawinan sebagian sahabatnya. Begitu juga Umar bin Umayyah adh-Dhamri pernah bertindak sebagai wakil Rasulullah (dengan Ummu Habibah), Dalam Hadits Rasul disebutkan yang artinya :
“Ummu Habibah adalah salah seorang yang pernah ikut berhijrah ke habsyah, dikawinkan oleh Raja Najasyi dengan Rasulullah, padahal pada waktu itu Ummu Habibab berada di negeri Raja Najasyi itu.”(H.R. Abu Dawud)
Jadi, Seorang ayah kandung dari anak gadis yang seharusnya menjadi wali dalam akad nikah dan mengucapkan ijab, dibenarkan dan dibolehkan untuk menunjuk seseorang yang secara syarat memenuhi syarat seorang wali. Dan penunjukan tersebut boleh dilakukan secara jarak jauh melalui media komunikasi, baik lewat surat tertulis atau pembicaraan telepon SLI, bahkan boleh lewat SMS, chatting, email, atau Video Conference 3.5 G. Cukup ditetapkan siapa yang akan menjadi wakil dari wali, yang penting tinggalnya satu kota dengan calon suami. Lalu dilakukanlah akad nikah secara langsung di satu majelis yang dihadiri oleh minimal 2 orang saksi laki-laki.


KESIMPULAN
Dari Uraian panjang diatas, dapat penulis simpulkan bahwa sebaiknya perkawinan lewat telepon tidak dilakukan, karena rentannya penipuan dan pemalsuan. Penulis berpedoman pada prinsif dasar hukum Islam yaitu mencari kemudahan dan tidak memberatkan. Sekaligus juga tanpa harus mengabaikan prinsif yang lain tentang pentingnya suatu kepastian hukum yang dilanadsakan pada istinbath hukum yang kuat. Sebenarnya masalah jarak yang memisahkan antara para pelaksana akad nikah dalam pandangan syariah sangat mudah solusinya. Solusinya adalah bukan nikah jarak jauh, akan tetapi adanya taukil atau perwakilan.












DAfTAR PUSTAKA

Muhamad Syuwaidah, Syekh kamil, Fiqh Wanita, Jakarta, 2006, Pustaka Alkautsar,

Effendi M, Zein MA, Prof, Dr. Satria Effendi,. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Prenada Media.2005.


Idris Ramulyo, Muhamad, SH.,M.H., Hukum Perkawinan,Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jaakrta, 2000, Sinar Grafika,


Abu Hafsh Usamah bin kamal bin abdir Razaq, Panduan Lengkap Nikah, Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006,

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah jilid 3,2008, Jakarta, PT Nada Cipta Raya,

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,1986, Jakarta, UI Press,




















NIKAH MUT'AH DAN AKIBAT HUKUMNYA

1. PENDAHULUAN
Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya. Karena akadnya hanya semata-mata untuk senang-senang saja antara laki-laki perempuan untuk memuaskan nafsu, bukan untuk bergaul sebagai suami istri. Dalam nikah mut'ah tidak ada aturan tentang thalaq karena perkawinan itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan.
Untuk akhir-akhir ini nikah mut'ah banyak disalah artikan oleh banyak orang, termasuk oleh para pekerja seks. Mereka mempergunakan nikah mut'ah untuk melakukan hubungan seks dengan selain mukhrimnya dan untuk menutupi pekerjaan mereka agar tidak termasuk tindakan prostutisi yang dilarang oleh negara dan agama dan dapat dikenakan hukuman. Tetapi mereka yang melakukan nikah mut'ah biasanya tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan dari pernikahan yang telah mereka lakukan itu.

2. RUMUSAN MASALAH
Kawin kontrak (nikah mut'ah) yang merupakan tradisi kaum jahiliyah dan syi’ah ini. Setelah datangnya agama Islam telah dihapus dan diharamkan, karena ketentuan-ketentuan dalam nikah mut’ah yang mengibaratkan wanita sebagai barang. Islam menghapus nikah mut’ah untuk memuliakan wanita. Akan tetapi sampai saat ini, masih banyak yang melakukan nikah mut’ah, begitupun dalam masyarakat Indonesia.
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana nikah mut'ah itu (haram dan halalnya) menurut para ulama' dan berbagai kalangan?

3. PEMBAHASAN
Perkawinan mut'ah ini diharamkan oleh islam, menurut kesepakatan madzhab, madzhab dalam kalangan Ahli Sunnah wal jama'ah. Tetapi madzhab Syiah memperbolehkan kawin mut'ah padahal hadits-hadits menunjukkan haramnya kawin mut'ah. Seperti hadits dibawah ini:
يَآاَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فىِ اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَاِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَهَا إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَة ِ.(رواه احمد و مسلم و ابن حبان)
"Wahai sekalian manusia, sungguh saya pernah mengizinkan kalian untuk kawin mut'ah, ingatlah sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat". (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Ibnu Hibban).
Nikah mut'ah semula dihalalkan pada awal Islam, karena mereka belum lama meninggalkan kekafiran. Jadi, ia diperbolehkan untuk menjinakkan mereka kemudian mengharamkannya pada saat penaklukan kota Makkah hingga kiamat. Persoalan yang timbul pada saat itu adalah bahwa seseorang datang di suatu negeri yang ia belum mengenalnya. Maka ia kawin dengan seorang wanita untuk masa waktu yang ia perkirakan bahwa ia selama waktu itulah ia akan bermukim di negeri itu. Dengan kawin itu maka istrinya akan menjaga baik-baik barang-barangnya, dan akan mengurus baginya hal-ihwal.
Hingga ayat: اِلاَّ عَلَى اَزْوَاجِهمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ
turun, yang artinya: "kecuali terhadap istri-istri mereka, atau budak yang mereka miliki." Maka setiap faraj selain dari kedua macam wanita tersebut adalah haram.
Sementara dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut`ah,antara lain:
a. Firman Allah SWT : "Dan (diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela" (QS. Al-mukminun:5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah,karena akad mut`ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1. Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
2. Iddah Mut`ah tidak seperti iddah nikah biasa.
3. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah.
4. Dengan melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut`ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut`ah termasuk didalam firman Allah:
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas"(QS. al-Mukminin :7)
b. Sebagaimana juga rasulullah, yang diketahui dari perkataan "Tsumma Nuhii `anhaa" dalam hadist menyebutkan bahwa nikah mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan
c. Nikah mut`ah bertentangan juga dengan peraturan perundang-undangan pemerintah/negara Republik Indonesia tentang perkawinan Islam di Indonesia dan tidak sah untuk dilakukan, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan mut’ah, yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati kepada pemerintah (ulil amri), berdasarkan, antara lain:
a. Firman Allah: "Hai orang beriman! Taatilah Allah dan Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu..."(QS. an-Nisa:59)
b. Kaidah Fiqhiyah: "Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat".
Sedangkan dalil-dalil haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab.
 Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat
 Pendapat Para Ulama Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
a. Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah"
b. Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
c. Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
d. Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.
e. Menurut al-Qurthubi dengan adanya perintah menikah bagi yang mampu dan perintah untuk menjaga kesucian bagi yang tidak mampu, maka tidak diperbolehkan mencari jalan lain seperti onani, nikah mut’ah, dan berzina.

Berbeda dengan pendapat diatas, kita juga mendapatkan pendapat yang mengatakan bahwa ayat mut'ah tidak di nasakh. Pendapat ini diucapkan oleh sejumlah sahabat, tabi'in dan riwayat-riwayat yang datang dari Ahlul Bait as. Sealnjutnya akan kami uraikan pandangan Sayyidina Ali, Said bin Jubair dan lain-lain.
• Pada hakikatnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat mut'ah temasuk ayat muhkamat dan tidak nasakh, sedang Ibnu Baththal mengatakan bahwa orang-orang Makkah dan orang-orang Yaman meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas mengharamkannya.
Sebenarnya riwayaat yang mereka ambil dari Ibnu Abbas ialah riwayat yang lemah (dhaif), padahal riwayat dari beliau yang membolehkan lebih kuat, dan itulah yang banyak diikuti orang-orang syiah.
Selanjutnya kita akan menyebutkan sebagian besar pendapat para sahabat dan tabiin tentang nikah mut'ah secara luas dalam judul Nash-nash hdan hadits-hadits.
• Al-Hakam bin Utaibah pernah pada suatu saat ditanya apakah ayat mut'ah sudah dihapus? Beliau menjawab belum.
• Imran bin Al-Hushain menjelaskan bahwa ayat mut'ah tidak dinasakh.
Menurut sebagian ulama' dan para pengikut syiah, nikah mut'ah itu tidak diharamkan dan sebagaimana dalam salah satu ayat yang menyebut nikah bentuk itu seperti dalam firman Allah surat An-Nisa':24, yang artinya:
(Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban… (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara keduan pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut'ah, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ - إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, dan lainnya.
Ayat di atas (an-Nisa':24) sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam mermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artintya mereka mengakui bahwa atas di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah.
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak sangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat nasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Seperti ayat yang tersebut dibawah ini:
Adapun menurut para sebagian yang menganggap nikah mut'ah itu diperbolehkan menyebutkan bahwa bukti dari sunnah Nabi saw. yaitu bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkan (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya.
Menurut para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.



Terjadi perdebatan antara syiah dan sunni tentang nikah mut'ah, yaitu:
Menurut syiah
 Dalam pandangan Syi'ah, Al-Qur'an yang ada tidak sempurna, karena telah dirubah oleh Khalifah Utsman bin Affan. Dengan demikian Al-Qur'an yang ada harus ditolak dan yang sempurna akan dibawa oleh Imam Al-Muntazhar. Jika sekarang diterima, hanya sebagai Taqiyyah saja. Kaum Syi'ah percaya kepada taqiyyah (menampakkan selain yang mereka niatkan dan yang mereka sembunyikan). Taqiyyah adalah agamanya dan agama leluhurnya. Tidaklah beriman barangsiapa tidak pandai-pandai bertaqiyyah dan bermain watak.
 Syi'ah berpandangan bahwa hadits yang dapat dipakai hanya disampaikan oleh Ahlul Bait atau yang tidak bertentangan dengan itu. Dan mereka berkeyakinan bahwa perkataan dan perbuatan Imam diyakini seperti hadits Rasulullah.
 Menurut Syi'ah, NIKAH MUT'AH adalah rahmat. Belum sempurna iman sesorang kecuali dengan nikat mut'ah. Berapa pun banyaknya, boleh. Dibolehkan nikah mut'ah dengan gadis tanpa izin orang tuanya. Boleh mut'ah dengan pelacur, boleh mut'ah dengan Majusiah/Musyrikah (wanita Majusi/Musyrik).
 Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.

Menurut Sunni
 Ahlussunnah berpandangan bahwa hadits yang shahih sebagaimana yang disampaikan oleh perawi hadits (Imam Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Nasa'i dan lain-lainnya) diterima dan dipakai sebagai pedoman dalam kehidupan setiap muslim.
 Mereka menyebutkan bahwa "Kawin mut'ah itu menimbulkan keresahan, dan hak-hak wanita tidak terlindungi." Kawin mut'ah itu bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974). Jadi perkawinan itu tidak sah. (lihat Gatra , 25 Mei 1996).
 Hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut فَمَااسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً....ةً telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artinya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!

4. KESIMPULAN
a. Nikah mut`ah hukumnya adalah HARAM menurut madzhab Sunni, tetapi HALAL atau DIPERBOLEHKAN menurut madzhab Syiah
b. Pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pada masa Rasulullah nikah mut'ah diperbolehkan sebanyak dua kali yaitu sebelum perang khaibar dan yang kedua pada waktu fathu makkah dan setelah itu nikah mut'ah diharamkan sampai hari kiamat.
d. Diperbolehkannya nikah mut'ah pada masa Rasulullah karena pada waktu itu sedang melakukan safar dan tidak ada istri atau budak yang ikut dengan mereka.
e. Batasan diperbolehkannya nikah mut'ah hanya tiga hari.





DAFTAR PUSTAKA

Usamah, Abu Hafsh bin Kamal bin 'Abdir Razzaq. 1998, Panduan Lengkap Nikah (dari A sampai Z), Bogor: Pustaka Ibnu Katsir
Alhamdani, H.S.A. 1989, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani
Al-'Amili, Ja'far Murtadho. 2002, Nikah Mut'ah Dalam Islam, Surakarta: Yayasan Abna' AL Husain
Anonim, 2002, Dalil-dalil Haramnya Nikah Mut'ah dan Pendapat para Ulama', http://www.operamail.com. (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2007, Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?, http://groups.yahoo.com/group/Tumpat/ (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2006, Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah, http://docs.yahoo.com/info/terms/ (tanggal akses 19 Mei 2009)
Anonim, 2007, Nikah Mut'ah menurut Tinjauan Syi'ah Rafidhah, http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php (tanggal makses 19 Mei 2009)














NIKAH SIRI DAN AKIBAT HUKUMNYA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.” (UU Pernikahan Pasal 1)
Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama.
Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi. Meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi maupun sekedar untuk mendapatkan kepuasaan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain. Berbagai permasalahan pun akhirnya timbul.
Nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara Indonesia. Memang, masalah nikah siri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka menikah tanpa sepengatahuan pihak berwenang tersebut. Biasanya, nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu, atau dilakukan berdasarkan adat-istiadat saja. Pernikahan ini kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, yaitu KUA (bagi yang muslim) atau Kantor Catatan Sipil setempat (bagi yang nonmuslim) untuk dicatat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka sangat penting bagi kita, sebagai mahasiswa muslim untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hukum nikah siri menurut pandangan Islam yang banyak sekali terjadi di kalangan mahasiswa.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah Siri
Secara etimologi, kata siri berasal dari bahasa arab “sirrun” yang berarti rahasia. Dan secara terminology, nikah siri adalah pernikahan dibawah tangan. Di Indonesia munculnya nikah siri sejak diterbitkannya UU No. 1 tahun 1974 yang mewajibkan orang islam untuk mendaftarkan pernikahan kepada Negara. Secara jelas, nikah siri adalah pernikahan dibawah tangan, bersifat rahasia dan tidak diumumkan kepada khalayak ramai.
B. Nikah siri di kalangan ulama
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Agama Islam memang membolehkan adanya nikah siri. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menyatakan nikah siri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan. Kebanyakan ulama sepakat menilai nikah siri sah, namun tidak dianjurkan.
Nabi Muhammad sendiri tidak setuju dengan pernikahan jenis ini. Beberapa ulama seperti Imam Malik bahkan menyatakan nikah siri batal hukumnya. Tidak sahnya nikah siri disebabkan kerahasiaan yang dibawa. Pada dasarnya, pernikahan adalah sesuatu yang wajib diumumkan.
C. Fakta Nikah Siri dikalangan masyarakat
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Menurut pandangan yang berdasarkan analisa penulis, hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebuttelah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.




D. Kerugian Nikah Siri bagi wanita
Banyak sekali kerugian yang tengah siap menerkam wanita dan anak yang terlibat dalam ikatan nikah siri ini. Berikut ini adalah beberapa kerugian yang harus ditanggung oleh seorang isteri dan anak dari hasil nikah siri:
• Pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum, sehingga anda tidak dianggap sebagai isteri yang sah.
• Isteri dan anak dari hasil nikah siri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia.
• Isteri dari hasil nikah siri tidak memiliki hak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum pernikahan siri mereka dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi.
• Kerugian dalam aspek sosial yang harus ditanggung oleh seorang wanita yang terikat hubungan nikah siri adalah sulitnya bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Biasanya, wanita yang tinggal serumah dengan suami yang merupakan hasil dari nikah siri akan dianggap kumpul kebo, atau kadang juga dianggap sebagai isteri simpanan. Wanita tersebut akan menjadi buah bibir di lingkungan tempat tinggalnya.
• Kerugian yang harus ditanggung oleh anak dari hasil nikah siri adalah, akan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Dan pada akhirnya, anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Secara hukum, anak tersebut tidak memiliki hubungan dengan sang ayah. Hal ini sesuai dengan UU Pernikahan pasal 42 dan pasal 43 ayat 1 berikut:
Pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43 ayat (1): “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Akte kelahiran si anak pun hanya akan dicantumkan nama ibunya saja, sedangkan nama sang ayah tidak ada. Selain itu, status anak pun akan tertulis sebagai anak di luar nikah. Hal ini juga banyak sekali mengakibatkan melekatnya cap negatif masyarakat terhadap anak tersebut, yaitu sebagai anak haram. Status sosial anak tersebut tentu saja akan membuat sang anak menderita dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan mungkin sepanjang hidupnya.
• Status si anak yang tidak jelas di mata hukum, tentu saja akan menimbulkan lemahnya hubungan antara si anak dengan sang ayah. Dan seandainya, suatu saat sang ayah tidak mengakui bahwa anak tersebut bukanlah anak kandungnya, maka sang anak tidak akan memiliki kekuatan apa-apa yang dapat ia gunakan untuk melakukan pembelaan atau melakukan gugatan.
• Dan yang paling merugikan si anak adalah, bahwa anak tersebut tidak memiliki hak atas nafkah, biaya pendidikan, biaya kehidupan, dan warisan dari sang ayah.

Itulah beberapa kerugian yang siap menerkan para wanita dan anak-anak yang terjebak dalam ikatan nikah siri. Begitu banyak dan begitu besar kerugian yang harus mereka terima, sementara dari pihak suami tidak akan mengalami kerugian apapun. Ya… dalam perkara nikah siri ini, sang suami hampir tidak akan mengalami kerugian dalam hal apapun. Bahkan sebaliknya, banyak sekali keuntungan yang siap diunduhnya.
Nikah siri yang dianggap tidak sah dimata hukum, akan memberikan kebebasan kepada sang suami untuk menikah lagi. Sang isteri tidak memiliki hak untuk menolak pernikahan tersebut, karena pernikahan yang telah mereka lakukan adalah pernikahan yang di mata hukum dianggap tidak sah dan tidak pernah terjadi. Selain itu, sang suami juga dapat lepas tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anak dari hasil nikah sirinya. Dan yang jelas, sang suami tidak akan repot dengan masalah pembagian harta gono-gini, harta warisan, dan lain-lain. Sang isteri dan anak tidak akan memiliki kekuatan hukum untuk mempertahankan pernikahan dan status mereka.
Begitu banyak dan besarnya kerugian yang harus siap diterima oleh para wanita dan anak yang tidak berdosa atas terjadinya ritual nikah siri. Kesewenangan dari pihak suami atau ayah dapat dengan mudah terjadi di luar pantauan hukum. Itulah, mengapa UU Pernikahan pasal 2 ayat 2 merupakan salah satu aturan pernikahan yang sangat vital, yang harus dilaksanakan oleh setiap pasangan yang hendak menikah. Dan itulah, mengapa akhirnya pemerintah atau negara tidak mengakui adanya nikah siri.

KESIMPULAN
Pernikahan siri sebenarnya bertentangan dengan filosopi islam yaitu :
1. Islam menganggap perkawinan sebagai sebuah perjanjian yang kokoh (QS An Nisa-21) dan dinyatakan bahwa “ perceraian adalah satu-satunya perkara halal dalam islam tapi sangat dibenci Allah” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
2. Islam memposisikan istri sebagai Pakaian suami dan sebaliknya sehingga secara hukum suami istri harus mempunyai posisi yang sejajar atau semitra. Konsep nikah siri secara telanjang bertentangan dengan maslahat primer yang ada dalam hukum islam “maqasid al-syar’ah”, menjaga keturunan “hifzu al-nasl”, karena tidak adanya perlindungan hukum yang dapat diterima anak hasil nikah siri.
3. Dengan melihat banyaknya kerugian dan bahayanya bagi wanita, Islam mempunyai jalan keluar yakni “Saddu-Dzari’ah” yakni menutup kemungkinan timbulnya bahaya. Jadi hendaknya nikah siri dalam ketiga fakta diatas untuk dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar